Sabtu, 13 September 2008

REBOISASI DARI TITIK B.71 PURA KAYU MAS, TEJAKULA, BULELENG

PENDAHULUAN
Awalnya, saya tidak terlalu mengetahui tentang konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Apa arti pentingnya dan bagaimana penerapannya. Walaupun saat itu saya telah menjadi anggota siswa pecinta alam Dharma Cita Ganeca SMA Saraswati 1 Denpasar. Tapi ketidakpedulian saya akhirnya berubah ketika saya diutus organisasi untuk mengikuti pembentukan kader konservasi alam tahun 2002 yang diadakan oloeh Balai KSDA Bali. Saya menjadi KKA tingkat pemula dengan kartu KKA warna kuning dan nmor KKA 82.029/22/10/D.08/Pl/IV/2002.Sejak saat itu saya mulai belajar memahami tentang arti penting konservasi sumber daya alam, apalagi saat masuk sebagai pengurus FK3I Bali, tentunya makin terbuka peluang seluas – luasnya untuk mendalami konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kemudian saat masuk di dunia kampus dan aktif di BEM, nafas konservasi makin intens saya hembuskan. Maka jadilah acara BEM diselipkan acara bakti sosial penanaman, walaupun kecil, tapi paling tidak saya bisa memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyebarluaskan tentang konservasi.
Salah satu kegiatan FK3I Bali yang memberikan saya pengalaman yang berbeda dari acara serupa dikesempatan dan tempat lain adalah penyelenggaraan penanaman di titik B.71 tersebut. Kalau pada kegiatan sebelum – sebelumnya biasanya kegiatan proses penanaman hanya berlangsung dalam sehari datang kelokasi, gali tanah sedikit terus tanam dan tinggalkan serta tidak lupa tepuk tangannya. Itulah yang umumnya yang saya ikuti. Kadang kami peserta tidak tahu berapa bibit yang ditanam dan berapa yang hidup. Sebagian besar gemanya hanya pada spanduk dan jumlah bibit yang fantastis. Sayang, dana yang besar kurang termanfaatkan secara maksimal.
Tahun 2005, FK3I Bali diberi kepercayaan untuk melaksanakan program gerakan bakti penghijauan pemuda 2005. sebagai sekretaris FK3I tentunya saya dituntut peran maksimal mulai dari penyusunan program, penentuan lokasi, jenis bibit, hingga bagaiana penanaman dan monitoring akan dilaksanakan.

G B P P 2005
Pelaksanaan program bakti penghijauan pemuda telah dimulai sejak 2005 dari empat lokasi yang dihimpun dari coordinator FK3I kabupaten, ditetapkan satu lokasi yaitu di desa Tejakula kabupaten Buleleng (Bali utara). Ada beberapa alas an yang melatar belakangi pemilihan lokasi tersebut. Pelaksanaan GBPP lebih menekankan pada proses pembelajaran kepada generasi muda. Lokasi kegiatan merupakan lahan kritis yang berbatasan dengan tanah milik masyarakat yaitu dimulai dari patok tanda batas kawasan dengan nomor registrasi B.71 antusiasme masyarakat yang tinggi mengingat baru saja terjadi banjir bandang yang melanda desa. Beberapa sekolah yang menjadi sasaran pembelajaran dekat dengan lokasi penanaman sehingga dalam proses monitoring lebih mudah.
Rangkaian GBPP 2005 diawali dengan sosialisasi program ke beberapa sekolah, kepala desa, penyuluh kehutanan lapangan dan juga masyarakat melalui SPKP (sentra penyuluhan kehutanan pedesaan) yang dibentuk pusat penyuluhan, juga pengecekan ketersediaan bibit termasuk dalam rangkaian GBPP, tapi mengingat dana baru bisa dicairkan di dinas kehutanan provinsi bali pada bulan Desember 2005 sehingga pembibitan tidak dilakukan peserta tetapi membeli dari pembibitan masyarakat. Jumlah bibit yang disediakan sejumlah 150 bibit terdiri dari mahoni dan intaran (mimba). Awalnya banyak yang mempertanyakan jumlah bibit yang mungkin sedikit sementara yang terlibat mencapai diatas 50 orng. Namun setelah kami jelaskan akhirnya dapat dimengerti. Disamping itu juga disiapkan bibit untuk penyulaman yang akan dilakukan pada awal monitoring.
Januari 2006, GBPP baru bisa digelar, kami melakukan tahap awal persiapan lokasi, dimulai dari pembersihan tanaman pengganggu disekitar lubang tanaman bertujuan untuk memberi peluang hidup yang lebih besar terhadap bibit reboisasi. Kalau menurut petunjuk pelaksanaan GBPP, seharusnya kegiatannya disarankan diluar kawasan hutan, tapi mengingat beberapa hal diatas kamipun diijinkan melakukannya di kawasan hutan sehingga kegiatan menjadi reboisasi. Lokasi penanaman merupakan kawasan perbukitan, saat musim hujan memang kelihatan hijau yang didominasi oleh tanaman semak belukar semusim sehingga saat musim panas, akan terlihat bukit kecoklatan nan tandus. Sementara tepat dikaki bukit adalah kawasan pemukiman desa. Pembuatan lubang tanam dan ajir kami melibatkan masyarakat dibawah arahan tenaga penyuluh kehutanan setempat. Titik – titik lubang mengikuti garis kontor dengan posisi gigi balang.
Penanaman bibit dilakukan dengan melibatkan lebih banyak siswa tidaki hanya dari tejakula tetapi juga perwakilan sipala sekolah – sekolah yang ada di kota Singaraja. Kegiatan ini diawali dengan sembahyang bersama di Pura Kayu Mas yang berada di titik B.71. dilanjutkan dengan penjelasan tentang reboisasi, cara tanam dan titik – titik lobang yang telah disiapkan. Karena jumlah peserta yang cukup banyak, penanaman bibit cukup singkat, acara dilanjutkan dengan diskusi membahas tenbtang jadwal monitoring. Monitoring rencananya akan dilaksanakan hingga bulan Mei 2007, hampir 4 bulan lamanya. Monitoring akan dikoordinasikan dengan Korwil FK3I Singaraja mengingat kami tidak memungkinkan untuk setiap waktu memonitor pertumbuhan bibit. Monitoring meliputi pemantauan tingkat pertumbuhan, pembersihan gulma, penyulaman. Jadwalnya disesuaikan dengan jadwal latihan Sispala dari 2 SMA yang ada di Tejakula. Hal ini sekaligus menjadi suatu proses pembelajaran dan berjalan dengan baik. Rekan – rekan kader dan pecinta alam yang ada di Buleleng selalu menyampaikan hasil monitoring, tentang jumlah bibit yng mati atau hilang tak ditemukan jejaknya via telpon dan SMS. Sekali waktu kami pun turun kelapangan untuk memantau tanaman kami. Hingga akhir program tidak terlalu banyak bibit yang tak ditemukan jejaknya karena tertutup belukar berduri sehingga kami membiarkan tanpa disulam. Tingkat kematian bibit atau tak diketemukan kurang dari 10%. Rasanya sangat puas melihat bibit – bibit kami berhasil tumbuh karena semuanya kami rancang dengan sangat sederhana, tanpa bentangan spanduk, seremonial dan tepuk tangan. Hanya makan siang bersama berupa nasi bungkus sederhana yang disiapkan warga.
Dibenak kami masih tersimpan keinginn untuk melanjutkan program reboisasi di Tejakula. Kami harus mencari celah – celah dana untuk pembiayaannya. Karena kami hanya bermodalkan keinginan, semangat pengabdian sebagai KKA. Kami yakin apabila program reboisasi ataupun penanaman dirancang dengan baik, sepenuhnya melibatkan masyarakat dan mengurangi acara seremonial yang tidak terlalu perlu, maka tidaklah terlalu banyak dana – dana yang terhamburkan dengan percuma. Seandainya tingkat program reboisasi semisal GERHAN memiliki tingkat keberhasilan diatas 60%, tentu kita boleh berharap bahwa hutan kita akan lebih cepat terpulihkan…… semoga.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN KONSERVASI DENGAN METODE PRA (PARTICIPATORY RULAL APRAISAL)

Visi pembangunan kehutanan yaitu terwujudnya kelestarian fungsi hutan bagi masyarakat. Antara kelestarian fungsi hutan dan kesejahtraan masyarakat merupakan dua sisi mata uang dan agar tetap bisa berjalan, kedua-duanya harus tetap seimbang.

Dengan memperhatikan kondisi sumber daya hutan saat ini, maka kebijakan pengelolaan sumber daya hutan ditujukan pada upaya-upaya dianranya memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi bagi peningkatan kesejahtraan masyarakat serta mengikutsertakan masyarakat dalam penanggulangan permasalahan kerusakan sumberdaya hutan.

Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan kini banyak diarahkan pada pemanfaatn jasa lingkungan hutan diantaranya adalah pada kegiatanpariwisata alam dengann peran serta masyarakata sekitar kawasan sebagai mitra usaha pemerintah.

P R A (PARTICIPATORY RULAL APPRAISAL)

Salah satu metode yang dikembangkan dalam meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembangunan adalah P R A (Participatory Rulal Appraisal) pengkajian desa secara partisipatif, yaitu sebuah metode yang mendorong masyarakat desa untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan dan menganalisa pengetahuan mereka mengenai kondisi kehidupan mereka sendiri, agar dapat membuat rencana tindakan yang tepat untuk daerahnya sendiri.

Dalam pelaksanaan P R A, masyarakat dipandu untuk menganalisis kondisi kehidupannya yang mencakup potensi dan permasalahan yang ada di desanya. Selanjutnya berdasarkan potensi tersebut disusun program-program untuk pengembangan desa

Dengan metode P R A, masyarakat diposisikan sebagai pelaku dari sebuah proyek pembangunan bukan sebagai obyek semata. Hal ini penting :

  1. masyarakat menjadi sumber informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setmpat sehingga setiap program menjadi tepa penangannya.
  2. masyarakat akan lebih mempercayai sebuah program pembangunan jika dilibatkan sejak awal persiapan dan perencanaan serta pelaksanaan.
  3. sedah menjadi hak masyarakat untuk dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

PRINSIP DASAR P R A

PRA menekankan pada proses pelaksanaan kajiansecara partisipatif bukan explorative. Prinsip dasar sebagai pedoman pelaksanaan PRA ;

1. belajar dari masyarakat

2. orang luar sebagai fasiliatordan masyrakat sebagai pelaku.

3. saling belajar, saling berbagi pengalaman.

4. santai dan informal

5. keterlibatan semua kelompok masyarakat

6. menghargai perbedaan

7. triangulasi

8. mengoptimalkan hasil

9. belajar dari kesalahan

10. orientasi praktis

11. berkelanjutan

TEKNIK – TEKNIK

1. PEMETAAN

Teknik pembeatan peta tingkat Desa yang menggambarkan keadaan wilayah Desa tersebut beserta lingkungan sehingga mampu mengantarkan pada proses penyadaran diri masyarakat akan lingkungan kehidupannya .

Tujuan :

~ Untuk mengenali keadaan Desa dan masyarakatnya semdiri melalui peta yang dibuat bersama – sama masyarakat Desa itu sendiri

~ Sebagai media masyarakat untuk mengenal lebih mendalam mengenai keadeaan wilayah lebih mendalam mengenai keadaan wilayah secara menyeluruh baik pada pemanfaatan Sumber daya Alam berkaitan dengan berbagai hal yang ada di Desa tersebut.

2. SKETSA LOKASI TERTENTU

Merupakan teknik PRA untuk menyadarkan masyarakat melalui pengambaran lokasi khusus (sesuai masalah yang dimunculkan).

Tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci terhadap daerah khusus tersebut.

3. ALUR SEJARAH

Adalah teknik PRA yang dirancang untuk menyadarkan masyarakat melalui pengungkapan kembali sejarah masyarakat melalui pengungkapan kembali sejarah masyarakat di lokasitertentu.

Tujuan :

~ Untuk mengenali dan mengetahui hal – hal penting dimasa lampau khususnya yang berkaitan sdengan topik yang ada.

~ Memahami keadaan masyarakat masa sekarang dengan mengetahui latar belakang di masa lalu.

~ Mengambilo pelajaran dari kejadian masa lalu untuk merancang program yang akan datang.

4. BADAN KECENDERUNGAN DAN PERUBAHAN

Adalah teknik PRA untuk menyadarkan masyarakat untuk menyadarkan masyarakat melalui penggambaran kecenderungan dan perubahan tentang berbagai keadaan kejadian masyarakat dari waktu ke waktu, sehinga dapat diperoleh gambaran kecenderungan dan perubahan yang mungkin berlanjut dan berpengaruh pada remcana program yang akan dilakukan.

Tujuan :

~ Untuk mengetahui berbagai perubahan dalam bidang kehidupan dan hubungan dalam berbagai perubahan tersebut.

~ Untuk menentukan rencana program yang akan datang yang diharapkan dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi dan mengantisipasi masalah yang diperkirakan akan muncul.

5. JADWAL SEHARI

Jadwal sehari adalah diskusi diantara masyarakat tentang gambaran pemanfaatan waktu dalam sehari dari berbagai lapisan masyarakat yang dituangkan dalam bagan pola penggunaan waktu dalam sehri. Dengan teknik ini diharapkan dapat memberikan penyadaran terhadap masyarakat sejauh mana efektifitas penggunaan waktu yang dimiliki masyarakat dalam sehari.

6. ANALISIS MATA PENCAHARIAN

Adalah teknik PRA berupa kegiatan diskusi untuk mengenali dan mernganalisa keadaan kehidupan masyarakat dari aspek mata pencaharian.

Tujuan :

~ Untuk mengetahui jenis mata pencaharian di masyarakat

~ Untuk mengetahui potensi dan masalah dari sejumlah pekerjaan masyarakat.

~ Menjadikan bahan refleksi (kaca diri) bagi masyarakat atas usaha yang selama ini dilakukan.

~ Ntuk menentukan jenis kegiatan yang layak dan dapat dikembangkan di masa yang akan datang.

7. PEMBUATAN BAGAN PERINGKAT (Matriks Ranking)

Adalah teknik PRA untuk menganaliasa sejumlah topik yang sudah teridentifikasi. Tujuannya untuk mencari prioritas masalah dan memilih alternatif pemecahan yang paling layak dipertimbangkan sesuai keadaan setempat. Teknik ini dapat mendorong dan merangsang daya pikir masyarakat untuk menentukan pilihan sendiri dan memperoleh pengertian tentang pilihan tersebut.

8. PENGORGANISASIAN MASALAH

Adalah sebuah tahapan dalam PRA untuk mengorganisasikan berbagai masalah yang terjadi sebelumnya oleh teknik – teknik lain. Masalah – masalah tersebut disusun dan diurutkan prioritas penangannya. Dengan adanya prioritas masalah yang jelas perencanaan kegiatan selanjutnya kan lebih terarah.

Tujuan :

~ Mengatur informasi (masalah dan potensi) yang sagat luas ke dalam suatu susunan yang teratur.

~ Mengkaji hubungan Sebab – akibat diantara berbagai masalah.

~ Menentukan masalah prioritas yang perlu ditangani terlebih dahulu.

~ Sebagai media penyadaran masyarakat tentang permasalahan yang mereka hadapi.

Pengorganisasian masalah dan potensi lebih menekankan pada proses pengkajian informasi yang sudah ada dari hasil teknik – teknik PRA sebelumnya.

9. PENYUSUNAN RENCANA KEGIATAN

Adalah perumusan tindakan nyata yang akan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, bisa dilakukan pada tingkat keluarga, kelompok, RT dll. Rencana kegiatan ini dapat berguna sebagai dasar pertimbangan bagi pihak lembaga, program lembaga serta lembaga pemberi bantuan dalam menentukan bantuan untuk berbagai aspek pembangunan berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh masyarakat sendiri.

Tujuan :

~ Untuk menghasilkan suatu rencana kerja yang nyata dan jelas sebagai pedoman tindak yang benar – benar dapat dilaksanakan.

~ Untuk merangkum hasil analisis masalah berdasarkan sumber daya yang ada (potensi)

PEMBUATAN BALE GADING DENGAN MEMANFAATKAN BAMBU KUNING (Bambusa vulgaris Schard) SEBAGAI SARANA KELENGKAPAN UPAKARA DALAM UPACARA POTONG GIGI ( MEPAND

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Bambu pada umumnya telah dikenal masyarakat luas. Bambu merupakan produk hasil hutan non kayu yang telah dikenal bahkan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat umum karena pertumbuhannya ada di sekeliling kehidupan masyarakat. Orang Perancis menyebutnya sebagai “Giant grass” (si rumput raksasa). Rumput raksasa ini tersebar luas di bumi pertiwi ini. Bambu banyak digunakan masyarakat dalam memenuhi kehidupan sehari-hari meliputi kebutuhan pangan, rumah tangga, kerajinan, konstruksi dan adat istiadat. Bambu memiliki multi fungsi pemanfaatan sebagai bahan makanan untuk manusia (Rebung), binatang (pucuk daun muda), kebutuhan rumah tangga dan aneka kerajinan dengan berbagai tujuan penggunaan mulai dari cinderamata, mebel, tas, topi, kotak serba guna hingga alat musik serta konstruksi untuk pembuatan jembatan, aneka sekat, konstruksi rumah meliputi tiang, dinding, atap dan kebutuhan adat istiadat. Bambu digunakan dalam upacara adat Hindu dan Budha diantaranya untuk upacara kremasi jenazah dan upacara Manusa Yadnya (Dinas Kehutanan, 2008).
Bagi masyarakat Cina, bambu dianggap sebagai salah satu jenis tumbuhan mulia. Ratusan tahun yang lalu, seorang penyair Cina terkenal, Pou-Sou-Tung, mengungkapkan bahwa suatu makanan harus memiliki daging, sedangkan rumah harus memiliki bambu. Tanpa daging kita bisa kurus, sedangkan tanpa bambu kita bisa kehilangan ketentraman dan kebudayaan. Suatu ungkapan yang mengagungkan tumbuhan bambu, karena begitu pentingnya fungsi bambu bagi kehidupan masyarakat Cina (Kompas, 2006).
Di Indonesia sendiri bambu paling banyak dibudidayakan di pulau-pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Bambu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Hindu di Bali untuk keperluan dan kelengkapan upakara-upakara dalam upacara yadnya. Berbagai jenis bambu dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap dalam upacara yadnya. Terdapat satu jenis bambu yang digunakan dalam upacara Manusa Yadnya yaitu bambu kuning atau dikenal juga dengan tiying gading oleh masyarakat Hindu di Bali (LIPI, 1977).
Pemanfaatannya Bambu kuning atau tiying gading dalam upacara keagamaan di Bali tidaklah sebanyak bambu-bambu lain seperti bambu tali, bambu betung, dan bambu ater, sehingga pembudidayaan terhadap bambu kuning ini pun tidak sebanyak jenis bambu yang lain. Namun meskipun demikian tiying gading ini tetap ditanam dibeberapa pekarangan rumah penduduk di Bali. Selain memiliki nilai estetis yang tinggi karena dapat dijadikan tanaman hias, bambu kuning juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembuatan berbagai perangkat upacara keagamaan oleh umat Hindu.
Penulisan mengenai perangkat upacara dalam ajaran agama Hindu, sangatlah sulit dibayangkan, di samping itu mengenai sumber-sumber sastranyapun sangat sulit didapatkan dan termasuk langka. Perangkat upacara itu sesungguhnya adalah merupakan kebudayaan Hindu, sepantasnya harus dilestarikan, karena perangkat tersebut merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang diimplementasikan secara nyata dan tergolong dalam upacara/ upakara dari kerangka agama Hindu. Di samping itu perangkat-perangkat tersebut menjadi atribut-atribut atau simbol-simbol yang memiliki makna keagamaan yang telah membudaya dari sejak dahulu kala sampai sekarang, yang patut dipertahankan. Untuk mempertahankan ini melalui satu cara yaitu mengungkapkan maknanya ke dalam satu tulisan agar bisa dipakai sebagai bahan informasi dan menjadi dasar penghayatan dari semua lapisan umat Hindu untuk diamalkan secara benar (Sudarsana, 2000).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui penelitian ini peneliti ingin mengungkapkan pemanfaatan tanaman bambu kuning yang dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat Hindu yang ada di Bali sebagai kelengkapan pada upacara-upacara yadnya yang ada di Bali khususnya pada pembuatan bale gading dalam Manusa Yadnya terutama dalam Upacara Potong Gigi (Mepandes).

1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading pada Upacara Potong Gigi (Mepandes) bagi masyarakat Hindu di Bali?

1. 3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading dalam Upacara Potong Gigi (Mepandes).
1.3.2 Untuk mengetahui makna secara etnobotani tanaman bambu kuning yang digunakan dalam pembuatan Bale Gading dalam Upacara Potong Gigi (Mepandes) bagi masyarakat Hindu di Bali.

1. 4 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa pemanfaatan tanaman bambu kuning memiliki makna dan peranan yang penting dalam pembuatan Bale Gading sebagai sarana kelengkapan upakara dalam Upacara Potong Gigi (Mepandes) bagi masyarakat Hindu di Bali.

1. 5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Diharapkan dapat lebih membuka pemikiran masyarakat tentang pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading pada Upacara Potong Gigi (Mepandes)
1.5.2 Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan pedoman dalam mata kuliah etnobotani.

1. 6 Asumsi dan Keterbatasan
1.6.1 Asumsi
Asumsi adalah hal-hal yang dianggap benar tanpa harus membuktikan terlebih dahulu atau memang tidak mungkin dibuktikan (Bawa, 1987).
Sebagai landasan berpikir bagi peneliti dalam penelitian ini akan dikemukakan beberapa asumsi yang antara lain adalah:
a. Umat Hindu di Bali mengetahui secara pasti pemanfaatan bambu kuning sebagai bahan dalam pembuatan bale gading sebagai sarana kelengkapan upakara.
b. Masyarakat Hindu di Bali mengetahui dengan pasti cara membuat bale gading serta pemanfaatannya dalam uparaca Potong Gigi (Mepandes).
c. Pengetahuan Sulinggih, Tukang Banten, Bendesa Adat dan Guru agama di Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal tentang pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan bale gading sebagai sarana upakara dalam upacara Potong Gigi (Mepandes) dianggap sama.
d. Sumber pustaka yang dimanfaatkan dalam penelitian ini, diambil atau dikutip dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan.
e. Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini dianggap memiliki validasi yang dapat dipertanggung jawabkan.
1.6.2 Keterbatasan
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, dalam penelitian ini juga dapat diungkapkan beberapa keterbatasan yang dihadapi dalam penelitian, antara lain:
a. Botani bambu kuning dan etnobotani yang dibahas dalam penelitian ini terbatas pada bambu kuning yang dimanfaatkan dalam pembuatan bale gading sebagai sarana upakara pada upacara Potong Gigi (Mepandes).
b. Penelitian ini sangatlah sederhana, hanya dilakukan di Desa Jagapati Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung oleh karena keterbatasan waktu dan biaya.
c. Karena keterbatasan pengetahuan si peneliti tentang etnobotani secara umum maka dalam penelitian ini yang dibahas hanya terbatas pada etnobotani bambu kuning yang berperan dalam pembuatan bale gading sebagai sarana upakara dalam upacara Potong Gigi (Mepandes).
d. Hasil penelitian ini hanya berlaku selama asumsi-asumsi tersebut diatas dapat dipertahankan.

1. 7 Penjelasan Istilah
Dalam penelitian terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui bersama, yang berkaitan dengan judul penelitian ini, hal tersebut perlu dijelaskan agar pembaca mudah memahami dan mengerti dari istilah-istilah yang dimaksud. Istilah-istilah tersebut antara lain sebagai berikut:
1.7.1 Bambu Kuning
Bambu kuning (Bambusa vulgaris Schard) termasuk kelas Liliopsida (berkeping satu/ monokotil) dan merupakan famili Poaceae (Morisco, 2005).
1.7.2 Bale Gading
Bale gading merupakan kelengkapan upakara berupa bangunan yang berbentuk persegi empat seperti gedong yang dibuat dengan bambu yang berwarna kuning (tiying gading) memiliki atap serta dihias dengan hiasan serba kuning berupa bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya seperti pengider-ider, dan pajengan dibuat dengan warna serba kuning (Raka, 1984).
1.7.3 Upakara
Upakara merupakan bentuk pelayanan yang diwujudkan dari hasil kegiatan kerja berupa materi yang dipersembahkan atau dikurbankan dalam suatu upacara keagamaan (Arwati, 2005).
1.7.4 Upacara
Upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan atau kegiatan (Surayin, 2005).
1.7.5 Potong Gigi (Mepandes)
Potong gigi (Mepandes) merupakan salah satu rangkaian dari upacara Manusa Yadnya yang patut dilaksanakan oleh setiap umat Hindu sebelum seseorang menempuh kehidupan Grhastha (Purwita,1992 ).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi dan Morfologi Bambu Kuning
Bambu kuning merupakan tumbuhan yang berasal dari Dunia Lama, khususnya dari kawasan Asia tropis. Jenis ini diyakini sebagai bambu yang paling banyak dibudidayakan di seluruh penjuru kawasan tropis dan subtropis. Dikawasan Asia Tenggara, bambu jenis ini banyak dibudidayakan dan kadang tumbuh dimana saja. Di Indonesia bambu ini banyak terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sulawesi (LIPI, 1977). Bambusa vulgaris Schrad ini memiliki 2 varietas yaitu yang hijau dan yang kuning. Kedua varietas ini memiliki nama daerah masing-masing, varietas yang hijau secara umum di Indonesia disebut bambu ampel; pring amper, aor, haor di Jawa; awi ampel, aor, haor untuk di Sunda; gurung di Manggarai; guru di Bajawa; oo todo di Bima; au dian di Tetun. Sedangkan varietas yang kuning di Indonesia sering disebut bambu kuning; pring kuning di Jawa; awi koneng, haor koneng di Sunda; oo muncar dio Bima;dan tiying gading di Bali (Widjaja, 2001 ).
Habitat tumbuhnya di daerah yang sangat kering dan lembab dan dapat tumbuh pula pada daerah yang tergenang air 2-3 bulan (Widjaja, 2001). Bambu kuning sangat mudah beradaptasi di tanah marjinal atau di sepanjang sungai, tanah genangan, pH optimal 5-6,5, serta di daerah-daerah pada ketinggian 1200 m dpl (meter diatas permukaan laut), paling baik pada dataran rendah. Oleh karenanya jenis ini tidak jarang dijumpai di pematang sawah. Jika bambu kuning dipotong dengan mudah dapat tumbuh kembali. Perbanyakan bambu dapat dilakukan dengan menggunakan rhizoma, stek cabang atau batang, cangkok dan kultur jaringan. Dan cara penanaman yang paling baik ialah dengan rimpangnya. Buluh bambu ini sangat kuat namun demikian jenis bambu ini tidak tahan terhadap serangan serangga pengerek batang. Bambu kuning memiliki rumpun simpodial tidak rapat dan tidak teratur serta tumbuh tegak (Soedjono, 1991).
Dalam tata nama atau sistematika (taksonomi) tanaman bambu kuning dimasukkan dalam klasifikasi sebagai berikut, menurut Morisco, 2005 antara lain sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionata (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu/ monokotil)
Sub-kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae (suku rumput – rumputan)
Genus : Bambusa
Spesies : Bambusa vulgaris Schrad

Secara morfologi, bagian – bagian tanaman bambu kuning menurut Widjaja, 2001 dapat dideskripsikan sebagai berikut :

2.1.1 Akar
Akar rimpang terdapat di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Bagian pangkal akar rimpangnya lebih sempit daripada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjang dan akhirnya menghasilkan buluh.
2.1.2 Rebung
Rebung kuning tertutup bulu coklat hingga hitam pada bagian ujungnya berwarna kekuningan hingga hijau. Tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang keluar. Rebungnya dapat dikonsumsi sebagai sayuran. Biasanya rebung ini segera dipotong atau diambil segera setelah tumbuh, sebab pertumbuhannya cepat, sehingga dengan cepat pula rebung ini akan menjadi buluh muda. Rebung dapat dipanen 1 minggu setelah keluar dari permukaan. Dalam waktu 2 minggu buluh yang muda dapat mencapai 4 m tingginya.
2.1.3 Buluh
Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Tinggi buluh mencapai 15 m dan 20 m dengan garis tengah sampai 10 m. Buluhnya tegak atau agak condong. Buluhnya berwarna kuning, hijau bertotol coklat, hijau mengkilat atau kuning bergaris hijau. Permukaan batang licin dilapisi lilin ketika muda.

2.1.4 Pelepah buluh
Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas yang terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula. Pelepah buluhnya ditutupi oleh bulu hitam yang berangsur-angsur menjadi gugur demikian juga pelepah buluhnya mudah gugur, kuping pelepah buluh membulat dengan ujung melengkung keluar, tinggi mencapai 2 cm, dengan panjang bulu kejur mencapai 3-8 cm, liguna menggerigi, tinggi 3-4 mm dengan panjang mencapai 3 mm pada tepinya, daun pelepah buluh tegak menyegitiga dengan bagian pangkal melebar.
2.1.5 Percabangan
Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu. Percabangan 1,5 m di bawah permukaan tanah, setiap ruas terdiri atas 2-5 cabang dengan satu cabang lebih besar daripada cabang lainnya yang merupakan cabang primer. Letak cabang berselang-seling.
2.1.6 Helaian Daun
Helaian daun berukuran 9 – 30 x 1 – 4 cm, gundul, kuping pelepah buluh kecil, tinggi 1 mm dengan bulu kejur yang pendek 1 – 2 mm; ligula rata, tinggi 1 – 12 mm.















Gambar 2.1 Morfologi Tanaman Bambu Kuning ( Widjaja, 2001 )
Keterangan :
a. Akar
b. Rebung
c. Buluh
d. Pelepah Buluh
e. Percabangan
f. Helaian Daun

2.2 Etnobotani Bambu Kuning
Istilah etnobotani sendiri pertama kali dikemukaan oleh Harshberger yaitu pada tahun 1895 (Waluyo, 2004) beliau memberikan batasan bahwa etnobotani adalah ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat primitif. Selain itu etnobotani merupakan istilah ilmu pengetahuan yang mempelajari pengetahuan tradisional masyarakat lokal tentang tumbuhan dan pemanfaatannya (Matoa, 2007).
Pada museum Etnobotani disimpan sekitar 1600 hingga 2000 koleksi mulai dari bahan pangan, sandang, papan, obat-obatan tradisional, alat rumah tangga, alat transportasi, alat pengolah pertanian, perikanan, alat musik, sarana upacara adat, mainan anak, dan juga kosmetik tradisional yang keseluruhan berbahan dasar tumbuh-tumbuhan. Demikian pula dengan etnobotani bambu kuning telah dikenal sejak dahulu, diantaranya dimanfaatkan, antara lain:
2.2.1 Dalam bidang kesehatan (untuk pengobatan)
Dari hasil penelitian yang pernah di lakukan di oleh Sangat Roemantyo dan Riswan (1990) yang telah melakukan inventarisasi terhadap tumbuhan obat di Jawa menyatakan bahwa di pulau Jawa ditemukan kurang lebih 151 jenis tumbuhan sebagai sumber obat – obatan yang tergolong dalam 125 marga dan 57 suku tumbuhan obat. Kebanyakan jenis-jenis tersebut merupakan bahan jamu/obat dan kosmetika tradisonal. Dilaporkan pula ada beberapa jenis yang memang sudah sulit ditemukan. Dari survai bahan jamu/obat yang dilakukan di beberapa pasar di Yokyakarta dan Surakarta pada bulan Desember 1993, terdapat 115 jenis tumbuhan yang ditemukan dijual di pasar baik dalam bentuk material yang telah dikeringkan maupun dalam kondisi yang masih segar. Di Maluku terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Salah satunya adalah bambu kuning yang dapat dimanfaatkan sebagai obat penyakit kuning yaitu dengan memanfaatkan bagian tumbuhan bambu kuning yaitu bagian tunas muda.
2.2.2 Dalam bidang industri
Bagian batang atau cabang atau buluh tanaman bambu kuning dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, pagar, jembatan, alat angkutan (rakit), pipa saluran air, dan berbagai kebutuhan rumah tangga. Selain itu bambu kuning juga dapat menghasilkan bubur kayu yang baik untuk bahan pembuat kertas (Bumi Mandiri Center, 2008).
2.2.3 Untuk upacara keagamaan
Menurut Ida Bagus Sudarsana batang dari bambu kuning dapat digunakan sebagai sarana upakara dalam upacara yadnya di Bali salah satunya dalam pembuatan bale gading yang berperan sebagai Stana Sang Hyang Semara Ratih dalam upacara potong gigi (mepandes) pada Manusa Yadnya. Dalam Pitra Yadnya bambu kuning dimanfaatkan sebagai tunjang (juan) saat ngangget don bingin (memetik daun beringin) dalam upacara nyekah, dan sebagai tumpang salu dalam upacara ngaben. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai batang penjor dalam upacara Dewa Yadnya pada rangkaian upacara Ngenteg Linggih.

2.3 Upacara
Upacara berasal dari kata Sansekerta “Upa” yang artinya berhubungan dengan dan “Cara” yang berasal dari kata ” Car” yang berarti gerak kemudian mendapat akhiran ran : ”a” menjadi kata benda yang berarti ”gerakan atau aktivitas”. Upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan atau kegiatan, atau dalam kata lain, Upacara adalah gerakan (pelaksanaan) daripada salah satu yadnya (Surayin, 2005). Upacara adalah lapisan paling luar dari agama. Kegunaan upacara dalam agama, selain untuk mewujudkan agama dalam kehidupan namun juga untuk memantapkan perasaan batin dalam memuja Hyang Widhi. Upacara juga berarti yadnya (Purwita, 1992). Menurut Surayin, 2005 umat Hindu di Bali sudah mengenal ada lima jenis Upacara Yadnya yang disebut dengan Panca Yadnya antara lain:
2.3.1 Dewa Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan untuk Ida Sang Hyang Widhi.
2.3.2 Rsi Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan untuk para Rsi.
2.3.3 Manusa Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan untuk Manusia.
2.3.4 Pitra Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan untuk para Leluhur.
2.3.5 Bhuta Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan kepada Bhuta.

2.4 Upacara Potong Gigi
Upacara potong gigi merupakan salah satu rangkaian dari upacara Manusa Yadnya yang patut dilaksanakan oleh setiap umat Hindu sebelum seseorang menempuh kehidupan Grhastha (Purwita,1992 ). Bila ditinjau dari etimologi, kata Manusa Yadnya sendiri berasal dari dua kata yaitu “Manusa” dan “Yadnya”, kata ” Manusa yang berarti manusia. Sedangkan “Yadnya” berarti korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas dan merupakan salah satu kewajiban bagi Umat Hindu. Jadi Upacara Manusa Yadnya adalah merupakan suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan lahir dan bathin, serta memelihara secara rohaniah hidup manusia ( Surayin,2005 ).
Di dalam lontar Dharma Kahuripan, Ekapratama dan rontal Puja Kalapati upacara potong gigi disebut atatah. Dan dalam kehidupan umat Hindu di Bali, disebut Masangih, Matatah, dan Mepandes. Istilah matatah dalam rontal pustaka berasal dari kata tatah yang berarti pahat. Istilah metatah ini dihubungkan dengan suatu tata cara pelaksanaan upacara potong gigi yaitu kedua gigi taring dan empat gigi seri dirahang atas dipahat tiga kali secara simbolik yang merupakan simbol untuk mengurangi “Sad Ripu” sebelum adanya pengasahan gigi hal inilah yang memunculkan istilah metatah (Purwita, 1992 ).
Mengenai mesangih muncul dari mengasah gigi seri dan taring dengan pengasah yaitu kikir dan sangihan-pengilap, mesangih adalah bahasa Bali biasa sedangkan bahasa Bali Halusnya adalah mepandes ( Purwita,1992 ).
Upacara potong gigi adalah suatu upacara penting bagi umat Hindu karena bermakna atau mengandung falsafah yaitu untuk menghilangkan sifat-sifat Sadripu yang ada pada diri manusia diantaranya : kama yaitu nafsu; lobha yaitu tamak; krodha yaitu kemarahan; madha yaitu kemabukan; moha yaitu kebingungan; dan matsarya yaitu iri hati ( Surayin,2005 ).
Di samping tersebut di atas upacara potong gigi juga mengandung maksud sebagai suatu harapan pelunasan hutang orang tua yang sangat mengasihi dan mencintai anak-anaknya, di dalam melengkapi kehidupan Manusa Yadnya sebagai umat Hindu di Bali, terlebih bagi anak perempuan yang akan meninggalkan rumah untuk mengikuti suaminya bila telah terjadi pernikahan. Jangan sampai membawa gigi kotor ke rumah suami. Selain itu penyelenggaraan upacara potong gigi merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya untuk menjadikan manusia sejati dan kelak setelah meninggal dunia dapat sama-sama bertemu di sorga antara anak dan orang tuanya. Upacara potong gigi dilakukan setelah anak itu meningkat dewasa (menek deha) atau upacara menek deha dapat langsung diadakan bersamaan dengan upacara potong gigi sedapat mungkin dilakukan sewaktu masih hidup (Surayin, 2005).
Secara lahiriah, pemotongan gigi itu dapat pula dianggap untuk mencapai keindahan dan kecantikan. Kiranya kurang baiklah kalau gigi itu panjang-panjang ataupun runcing-runcing, tidak ubahnya seperti gigi binatang.
2.4.1 Mitologi Yang Terkandung Dalam Upacara Potong Gigi
Berbicara mengenai filosofi upacara potong gigi secara mendasar sesungguhnya ada termuat di beberapa lontar-lontar yang ada di Bali, berbentuk tattwa-tattwa namun demikian inti sarinya memiliki tujuan yang sama. Berdasarkan isi tattwa-tattwa inilah lahirnya upacara potong gigi (Sudarsana, 2000).
Dalam mitologi Siwagama diceritakan Bhattara Siva menikmati perjalanan bersama Dewi Uma terbang di udara di atas samudra. Perjalanan tersebut semata-mata untuk melihat-lihat keindahan alam ciptaanNya sambil bersantai-santai dengan Dewi Uma. Diceritakan kain Dewi Uma tersingkap sedikit oleh angin yang berhembus kencang. Dengan tersingkapnya kain yang dipakai oleh Dewi Uma maka terlihatlah sedikit paha mulus dari Dewi Uma. Kejadian tersebut menyebabkan Bhattara Siwa menjadi sedikit terkesima dan ereksi. Karena ereksi maka keluarlah Kama Petak Bhattara Siwa dan jatuh di samudra. Kama Petak Bhattara Siwa yang jatuh di samudra itu dipelihara oleh Dewa Bharuna di laut. Setelah beberapa lama Kama Petak itu lahir menjadi Bhattara Kala. Wujud Bhattara Kala tinggi besar berbentuk raksasa. Bhattara Kala terus ke darat untuk menanyakan siapa sesungguhnya orang tuanya. Ternyata di darat tidak ada seorang pun mengetahui orang tua yang melahirkan Bhattara Kala. Karena itu Bhattara Kala menjadi marah, siapapun yang ditanya, kalau tidak dapat menjawab pertanyaannya tersebut maka akan dibunuh. Para rajapun ditanya, namun bila tidak dapat menjawab beliau akan membunuhnya. Kemarahan dari Bhattara Kala semakin menjadi-jadi, karena di bumi ini tidak ada yang dapat menjawab siapa orang tua dari Bhattara Kala maka Bhattara Kala pun sampai bertanya ke Sorga Loka. Di Sorga Loka pun tidak ada Dewa-Dewa yang mengetahui orang tua dari Bhattara Kala. Dewa-Dewa di Sorga pun turut diperangi oleh Bhattara Kala, Sorga Loka menjadi heboh dan geger akibat amukan beliau. Bhattara Kala memang sangat tanggguh tidak ada yang mampu mengalahkannya termasuk raja dan Dewa, senjata apapun tidak ada yang dapat melukai Bhattara Kala. Akhirnya Bhattara Kala berhadapan dengan Bhattara Siwa. Bhattara Kala pun menanyakan kepada Bhattara Siwa siapa sesungguhnya ayah dan ibunya. Bhattara Siwa memberitahu Bhattara Kala agar Bhattara Kala memotong terlebih dahulu taringnya yang tajam. Bila taring yang tajam itu telah hilang atau datar maka akan bertemulah Bhattara Kala dengan siapa yang menciptakannya. Nasehat dari Bhattara Siwa diikuti oleh Bhattara Kala, yang akhirnya Bhattara Kala memotong taringnya yang lancip dan akhirnya Bhattara mengetahui bahwa Bhattara Siwa dan Dewi Umalah pencipta dari Bhatara Kala. Bhattara Kala akhirnya datang menyembah pada Bhattara Siwa dan Dewi Uma. Dengan bertemunya Bhattara Kala dengan Bhattara Siwa sebagai penciptanya maka redalah kemarahan dari Bhattara Kala. Cerita ini memiliki nilai-nilai filosofi yang tercermin oleh beberapa simbolis yang terkandung dalam cerita ini. Dimana pertemuan antara Bhattara Kala dan Dewi Uma di tempat yang tidak wajar akan melahirkan anak yang tidak wajar. Hal ini bermakna janganlah bertemu asmara dengan istri di sembarang tempat. Pertemuan ini yang mengakibatkan akan lahir anak yang tidak wajar juga, marah dan memiliki sifat yang dimiliki oleh Bhattara Kala. Hyang Siwa Guru adan Dewi Uma adalah merupakan dua kekuatan pencipta dari Sang Hyang Widhi. Dari dua kekuatan tersebut lahirlah kama (nafsu), sedangkan samudra merupakan simbol dari kehidupan alam semesta ini, dengan demikian kama yang jatuh ke dalam samudra mengandung pengertian bahwa di dunia ini penuh dengan nafsu, dan nafsu tersebut melahirkan seorang anak yang bernama Bhatara Kala. Bhattara berasal dari kata ”Bathr” yang artinya kekuatan sedangkan Kala artinya energi yang dimiliki kecenderungan keburukan (asuri sampad), artinya kekotoran diri (leteh) yang dibawa lahir. Perjuangan Bhattara Kala mencari ayah dan ibunya itu sesungguhnya perjuangan untuk bertemu Tuhan. Nasehat dari Bhattara Siwa yang diberikan kepada Bhattara Kala untuk memotong taringnya tiada lain adalah wejangan dari kitab suci Weda, memotong taring adalah simbolis memotong keserakahan dan gejolak hawa nafsu. Dan salah satu ajaran Weda adalah mengendalikan hawa nafsu yang sering disebut Sad Ripu yang dengan memotong taring artinya memotong enam musuh yang ada dalam diri manusia sehingga nantinya tercapai seorang anak yang suputra (Wiana, 2002).
2.4.2 Tahapan Upacara Potong Gigi
Berdasarkan ketentuan dalam pustaka Lontar Dharma Kahuripan dan pustaka Lontar Puja Kalapati, disebutkan adanya tahapan-tahapan dalam upacara Potong Gigi, adapun tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sanggah Surya, maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan padudusan madya, setelah itu mereka memuja Hyang Raditya untuk memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.
b. Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
c. Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai simbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai simbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
d. Selama mepandes, air kumur dibuang di sebuah nyuh gading agar tidak menimbulkan keletehan.
e. Dilanjutkan dengan mebiyakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
f. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana. Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan, selalu berpegang pada ajaran agama Hindu, mempunyai pandangan luas, dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis ketika mepadamel, dilakukan sebagai berikut:
f.1 Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai simbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
f.2 Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih dan hitam) sebagai simbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
f.3 Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai simbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai simbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menghadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta senantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
g. Natab banten, tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.
h. Matepak, mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menjadi dewasa secara spiritual sudah selesai, makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan masa depan.
2.4.3 Upakara Yang Digunakan
Upakara-upakara yang digunakan dalam pelaksanaan upacara potong gigi (mepandes) menurut Mas Putra, 1987 ; diantaranya:
a. Menyediakan sebuah tempat atau bangunan untuk upacara Potong gigi biasanya pada salah satu bangunan rumah seperti bale daja, bale gading atau lainnya yang dianggap wajar. Tempat tersebut dihias dengan indah dilengkapi dengan tempat tidur seperti bantal dan kasur yang ditutupi dengan tikar ”pelasa” yang digambari Semara-Ratih, yang menjadi makna atau simbol agar yang potong gigi dianugrahi ketampanan dan kecantikan dari segala aspek.
b. Menyediakan kelapa gading yang muda (kelungah nyuh gading) yang dikasturi, airnya dibuang, dialasi dengan kain dan bokor. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah, singgang gigi yang sudah dipakai dan bekas kumuran yang nantinya setelah selesai mesangih akan ditanam di belakang suci kemulan. Memiliki makna bahwa mengembalikan kekuatan pancaindra dan Sadripu ke Sang Hyang Prakerti.
c. Pahat, digunakan sebelum pemotongan gigi dengan urutan upacara yang disebut ngendag (memotong secara simbolis). Perangkat ini merupakan simbol dari kekuatan Sang Hyang Indra (Dewanya sorga) bermakna permohonan kehadapan Hyang Widhi agar nantinya setelah meninggal bisa bertemu dengan ayah dan ibu (sang pencipta).
d. Kikir (alat pemotong gigi/pengasah) merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Widhi (Hyang Brahma) sebagai pengelebur kekotoran spiritul manusia.
e. Sebuah pengilap yaitu sebuah cincin yang bermata mirah dan madu, keduanya dijadikan satu tempat.
f. Semeti/ Pangotokan (semacam palu dari kayu), bentuknya kecil dibuat dari bahan kayu sakti (dapdap) pada waktu ngendag digunakan pahat dan dipukul dengan semeti, merupakan simbol dari Sang Hyang Tunggal mengandung makna sebagai kekuatan pengendalian diri dalam mengarungi kehidupan di dunia agar selalu ingat akan dharma.
g. Batu asah (sangihan), setelah dipotong dengan kikir gigi diasah dengan batu pengasah, agar ujung-ujung giginya tidak tajam. Mengandung simbol kekuatan Sang Hyang Surya Candra, agar dikaruniai keindahan dalam sopan dan santunnya selalu memiliki pikiran widya.
h. Kunir, kapur dan madu, sarana ini digunakan setelah pemotongan gigi untuk yang terakhir yang dioleskan. Simbol dari Sang Hyang Tri Murti, untuk mengembalikan lagi kekuatan spiritual agar anak seperti semula. Kunir merupakan simbol dari Hyang Brahma mengembalikan sabdanya, kapur simbol Hyang Siwa mengembalikan kekuatan idepnya (intuisi) dan madu simbol dari Hyang Siwa mengembalikan kekuatan bayunya. Dalam ilmu kedokteran merupakan obat antiseptik.
i. Lekesan, terbuat dari daun sirih yang berisi kapur, pinang, gambir dan tembakau. Saran lekesan ini merupakan simbol Sang Hyang Panca Siwa yang akan memberikan kekuatan dharma kepada orang yang melaksanakan upacara potong gigi, supaya mereka mampu mengendalikan kekuatan adharma. Dipotong tiga kali dan terakhir diusapkan dengan tembakau. Sarana ini merupakan simbol dari Sang Hyang Wisesa yang memberikan kekuatan kesidhian yang tidak terbatas dan juga sebagai antiseptik.
j. Pedanggal (singgang gigi), dibuat dari bahan tebu Arjuna dengan bentuk bulat panjang sebesar jari tangan dengan panjang 3 cm (agula) memiliki kekuatan keindahan yang berfungsi sebagai penyangga rahang atas dengan rahang bawah agar rahang tetap menganga untuk memudahkan dalam pelaksanaan pemotongan gigi. Dapat juga dibuat dengan cabang kayu sakti. Masing-masing dialasi dengan takir/bokor.
k. Pisau biasanya disertakan pada upakara peras pengenjek. Diinjal tiga kali secara simbolis mengandung makna agar nantinya anak setelah melaksanakan upacara potong gigi akan bertambah cerdas.
l. Bale gading, dibuat dari bambu gading berbentuk gedong dengan hiasan serba kuning. Diletakkan di bagian hulu (timur atau utara) dari tempat tidur yang ajakan dijadikan tempat potong gigi. Di dalam bale gading ini diletakkan kelapa gading yang telah dikasturi serta gambar Sang Hyang Semara Ratih dialasi dengan bokor dan kain sutra kuning, canang sari, ajuman, suci, daksina, rantasan putih kuning, dan peras. Air kelapa gading ini nantinya dijadikan wangsung pada setelah upacara potong gigi. Bale gading merupakan simbol Stana dari Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih serta tempat memohon ketampanan dan kecantikan berupa air suci oleh Sangging yang sedang bertugas.
2.5 Pengertian Bale Gading
Bale gading terdiri dari dua kata, yaitu “Bale” dan “Gading”, ‘Bale’ merupakan suatu kata yang diucapkan untuk menunjukkan suatu bangunan yang dibuat oleh manusia sebagai tempat sesuatu sesuai dengan fungsinya, sedangkan ‘Gading’ dapat diartikan menjadi dua yaitu; gading yang menunjukkan taring daripada gajah, dan gading yang menunjukkan tentang warna kuning. Bale gading ini dibuat dari bambu kuning dengan bentuk segi empat bujur sangkar memiliki atap, menyerupai bangunan biasa dan bale ini dihias serba kuning dengan bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya seperti pengider-ider, pajengan dibuat dengan warna serba kuning, memiliki pintu sehingga kelihatan seperti bangunan emas. Bale gading memiliki saka (tiang sebanyak empat buah. Pembuatan bale gading disesuaikan dengan lontar yang ada yaitu dengan perhitungan asta kosala kosali (tata aturan membuat bangunan Hindu) biasanya pembuatnnya dilakukan oleh seorang Wenagi (tukang membuata bangunan Pura) namun tidak menutup kemungkinan juga dibuat oleh orang biasa namun telah mengetahui cara-cara pembuatan bale gading. Di dalam bale ini diisi suatu upakara kecil (Sudarsana, 2000).
Dalam hal ini gading yang dimaksud bukanlah gading gajah, namun gading dalam ajaran agama Hindu yang merupakan jenis warna sebagai lambang kesucian yaitu warna kuning. Bale gading adalah bale yang berwarna kuning, ditambah lagi dengan bahan-bahan dan cara pembuatannya dengan menggunakan bahan serba kuning (gading). Bangunan ini bukan tempat manusia, melainkan adalah untuk tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi, dalam wujud-Nya Sang Hyang Semara Ratih, maka dari itu bangunan ini dibuat kecil (Raka, 1984).

2.6 Peranan Bambu Kuning Dalam Pembuatan Bale Gading
Dalam pembuatan bale gading material yang dimanfaatkan adalah bambu kuning. Bahan ini tidak dapat digantikan dengan bahan lain karena dalam hal ini bambu kuning memliki makna dan peranan yang sangat penting. Menurut bahasa sansekerta. Tihing gading itu berasal dari kata ”pring” yang artinya api dan api artinya cahaya dan gading itu mengandung makna amerta yang juga disebut keindahan, jadi bambu kuning adalah api keindahan. Jadi secara lebih jelasnya tiying/bambu gading ini adalah merupakan simbol dari Dewa Keindahan. Dalam lontar Semara Dahna yang disebut Dewa Keindahan adalah Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih dimana beliau merupakan sebagai penuntun para remaja, karena disaat remajalah jiwa manusia itu indah.
Di dalam ajaran agama Hindu juga telah dikenal adanya dua jenis warna sebagai lambang kesucian, yaitu warna putih dan kuning. Dimana warna putih adalah lambang kesucian yang menyatakan suatu kondisi yang bebas dari segala ikatan keduniawian dan netral, sedangkan warna kuning juga merupakan lambang kesucian namun lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti: keagungan, kemakmuran, kewibawaan, kemuliaan serta kesempurnaan (Lontar Taru Pramana).
Oleh karena demikian pemakaian warna kuning lebih mengutamakan pada hal-hal yang bersifat penyucian yang masih dilekati oleh unsur-unsur keduniawian (Raka, 1984).
2.7 Fungsi Bale Gading Dalam Upacara Potong Gigi
Pada dasarnya upacara tidak dapat dipisahkan dengan upakara (bebanten) baik besar maupun kecil sesuai dengan keadaan. Pembersihan lahir bathin manusia selama hidupnya dianggap perlu, agar seseorang dapat menerima petunjuk-petunjuk yang baik dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga selama hidupnya tidak menempuh jalan yang sesat, melainkan dapat berpikir, berkata, dan berbuat yang benar, sehingga dapat memperbaiki karmanya dan akhirnya setelah meninggal rokhnya (atmanya) telah menjadi bersih (suci) serta wajar bersatu dengan Tuhan (Brahman) (Raka, 1984).
Dalam upacara Yadnya kita kenal adanya tingkatan-tingkatan upacara seperti: nista, madya dan utama yang disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan dari bahan atau materi yang tersedia. Seperti diketahui bahwa nista, madya dan utama itu hanyalah semata-mata untuk menunjukkan jumlah materi atau upakara di dalam suatu yadnya, namun dalam makna yang sama. Nista sendiri berarti inti atau pokok bukan berarti hina, sebab dalam Yadnya landasannya adalah ketulusan dan kesucian hati nurani. Bila dilandasi ketulusan hati walaupun kecil upacara yang kita persembahkan niscaya besar pahala yang akan diterima namun sebaliknya Yadnya yang besar bila tidak dilandasi hati yang suci akan sia-sia belaka (Purwita, 1992).
Diantara sekian jenis upacara Manusa Yadnya yang menggunakan bale gading sebagai sarana upakaranya antara lain Upacara Potong Gigi (Mepandes).
Di dalam upacara Potong gigi, pemujaan dilakukan kepada Dewa Kama (Sanghyang Semara) yang merupakan sebagai lambang cinta kasih, ataupun keindahan. Sebenarnya “Semara Ratih” merupakan salah satu nama untuk menyebutkan Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud Ardanareswari. Dewa Kama (Sanghyang Semara) dengan sakti-Nya Dewi Ratih berada di atas teratai bersenjata busur (panah), berwarna kuning keemasan memberi sukses dalam segala usaha, membasmi penyakit, mengusir kejahatan namun yang paling utama adalah member cinta dan kasih (Mas Putra, 1987).
Dalam upacara potong gigi beliau dipuja serta dibuatkan stana beratapkan bunga-bunga berwarna kuning demikian pula bahan bangunannya dari bambu gading (bambu kuning) dan perlengkapan lainnya berwarna kuning, yaitu sebuah “bale gading” (Mas Putra, 1987). Mengingat bahwa warna kuning merupakan lambang kesucian dan cinta kasih namun yang masih berkaitan dengan keduniawian, demikian pula Sang Hyang Semara Ratih.
Bale gading tersebut merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam wujud sinar suci-Nya yang abadi yaitu Sang Hyang Semara Ratih. Bale gading juga merupakan suatu simbolik bagi seseorang mulai memasuki tingkat remaja atau dewasa. Warna gading (kuning) adalah simbolik daripada muda atau remaja. Dalam upacara potong gigi lebih banyak ditekankan dan mengandung penuh pengharapan agar manusia dapat mengurangi nafsu-nafsu jahatnya (Sad Ripu) sehingga dapat bertindak sewajarnya. Ngayab bale gading: bale gading merupakan suatu simbolik bagi seseorang mulai memasuki tingkat remaja atau dewasa. Warna gading (kuning) adalah simbolik daripada muda atau remaja. Sedangkan ngayab bale gading bermakna memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada mereka yang sedang menghadapi kegoncangan batin karena dilanda oleh pancaroba yang dapat menimbulkan krisis dalam kejiwaan (krisis rite). Dengan melakukan upacara ini Bhatara Semara dan Bhatari Ratih akan memberikan kekuatan lahir dan batin untuk dapat melewati masa krisis itu dengan selamat. Penggunaan bale gading pada upacara potong gigi dilaksanakan baik pada tingkat nista, madya maupun utama (Purwita, 1992). Bale gading hanya merupakan pelegkap upakara dalam upacara ptong gigi (mepandes) tidak dipergunakan dalam upacara yadya yang lainnya. Sering kali upacara potong gigi ini pelaksanaannya disertakan pada beberapa rentetan upacara yadnya lainnya seperti memukur pada pitra yadnya, menek kelih dan pernikahan (pewiwahan) pada upacara manusa yadnya.
Adapun bale gading merupakan linggih dari (sthana) Sanghyang Semara Ratih, dimana di dalam Lontar Dewa Tattwa disebutkan bale gading dilengkapi dengan upakara “Rajah Ratih Candra” dan untuk lebih jelasnya mengenai bale gading sebagai linggih (stana) dari Sanghyang Semara Ratih.

“ Kramaning banten bale gading, misi suci asoroh, mewak itik ginuling, nasi kuning atebog, mewak itik putih mebe kakak, kunang sekarnya, sekar sekasti, kedapan naga sari, gadung, sekar cepaka warangan, Rajah Ratuh Candra”

Pengertian Ratih Candra pada kutipan diatas adalah menunjukkan nama dari salah satu Dewa yaitu Dewa kecantikan (kebagusan), yang menurut kepercayaan agama Hindu di sering dipersonifikasikan dengan bulan, sebagai lambang Dewa kecantikan (kebagusan). Mengingat Rajah Ratih Candra merupakan lambang atau simbul dari Dewa kecantikan (kebagusan) dalam wujud cinta kasih-Nya dari Ida Sanghayng Widhi Wasa (Tuhan) selanjutnya Rajah Ratih Candra tersebut ditempatkan bale gading, maka bale gading merupakan linggih (stana) dari Sang Hyang Semara Ratih (Lontar Dewa Tattwa).

2.8 Upakara-upakara dalam Bale Gading
Upakara berasal dari kata “Upa” yang artinya berhubungan dengan dan “Kara” yang artinya perbuatan atau pekerjaan tangan (Surayin, 2005). Dapat pula disebutkan bahwa upakara merupakan bentuk pelayanan yang diwujudkan dari hasil kegiatan kerja berupa materi yang dipersembahkan atau dikurbankan dalam suatu upacara keagamaan (Arwati, 2005). Berbeda dengan upacara yang lebih berhubungan dengan perwujudan kegiatan, upakara merupakan perwujudan materinya.
Adapun upakara-upakara yang menyertai Bale Gading antara lain:
2.8.1 Kelapa Gading
Yang dipakai kelapa gading yang masih muda yang disebut klungah nyuh gading yang telah dikasturi serta digambari “Semara Ratih” yang dialasi bokor dan kain sutra kuning. Kelapa gading ini nantinya digunakan sebagai tempat ludah yang metatah. Dalam Lontar Taru Pramana, disebutkan bahwa kelapa gading adalah berasal dari sari-sari ilmu kependetaan/jiwa ilmu Kependetaan. Kelapa Gading juga dapat dipakai saran untuk mengobati segala macam penyakit seperti penyakit kejiwaan dan yang sejenis dengan itu, dalam Lontar Taru Pramana disebutkan pula bahwa pada zaman dahulu kala kelapa gading merupakan warih dari Bhatara Surya.

2.8.2 Suci
Suci yang digunakan disini adalah suci laksana atau suci bungkulan, namun disesuaikan juga dengan desa, kala, patra. Banten Suci Laksana ini menggunakan Suci simbol permohonan untuk menyucikan bhuwana Agung dan Bhuwana Alit kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa (Ripig, 2004). Suci Laksana menggunakan 6 buah tamas. Empat buah tempat jajan Sesamuhan dan dua buah untuk tempat nasi dan Rerasmen atau lauk pauknya. Dalam Banten Suci ini yang terpenting adalah jajan Sesamuhannya yang dibuat juga dengan cara yang suci, orang yang sedang Cuntaka tidak dikenankan untuk membuat. Jenis jajan Sesamuhan suci ini banyak sekali. Warna jajan ini ada dua yaitu putih dan kuning, yang merupakan perwujudan kesucian Hyang Widhi bahwa kesucian Hyang Widhi dapat mewujudkan kebahagiaan rohani yang dilambangkan dengan jajan putih dan kemakmuran ekonomi atau batin yang dilambangkan dengan warna kuning.
Lebih banyak yang berwarna putih daripada kuning karena diharapkan lebih mengutamakan kesucian lahir daripada kesucian batin (Wiana, 2002). Suci adalah perwujudan dari Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai pemerina, suci dalam bentuk putih dan kuning (kesucian) adalah lambang dari keagungan dan kemewahan (Raka, 2004).
2.8.3 Canang Sari
Canang sari merupakan sebuah canang yang alasnya dari sebuah ceper atau tamas kecil, hanya sampian uras sarinya membentuk asthadala sehingga terlihat berbentuk bundar sedangkan isinya berfungsi sebagai simbol sarining yadnya dan juga Simbol Tri Murti (Ripig, 2004).
2.8.4 Pejati
Dalam pejati terdapat peras, ajuman dan daksina
a. Peras
Alasnya memakai sebuah ituk-ituk untuk yang kecil dan yang besar memakai sebuah taledan. Di atasnya ditempelkan kulit peras terdiri dari lima potong reringgitan kemudian diisi tampelan, beras, benang, uang kepeng, dua buah tumpeng, rerasmen, raka-raka (jajan dan buah-buahan) di atasnya diletakkan sebuah sampiyan peras yaitu sampiyan metangga berisi porosan, bunga, rampe, dan boreh miyik. Merupakan simbol dari permohonan untuk keberhasilan atau kesuksesan (Arwati, 2005).
b. Daksina
Alasnya memakai wakul daksina, serembeng, bebedogan. Di dalamnya secara berturut-turut diisi tampak, tampelan, beras, kelapa, telur itik mentah, kemiri, pangi, pelawa paselan, gantusan, bijaratus, uang kepeng, benang petih, dan sebuah canang genten (Arwati, 2005).
Daksina secara umum merupakan lambang dari Hyang Guru, sering disebut juga dengan sesantun dalam hal ini dianggap sebagai lambang dari Hyang Tunggal. Hyang Tunggal dan Hyang Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa.
c. Ajuman
Alasnya memakai ceper, taledan, tamas atau lain sejenisnya. Di atasnya berisi dua buah penek (putih, kuning) dilengkapi dengan rerasmen, raka-raka dan sebuah sampiyan pelaus atau kepet-kepetan diisi porosan, bunga, rampe, boreh miyik. Simbol persembahan dalam wujud hidangan atau makanan (Arwati, 2005).
2.8.5 Ponjen
Ponjen merupakan simbol dari Purusa da Pradana yang memiliki arti laki-laki dan perempuan, dimana dalam pelaksanaan potong gigi ponjen ini dibawa ketika akan naik kebale atau tempat melakukan potong gigi bagi yang akan melakukan potong gigi. Di dalam ponjen terdapat buah pala, sekar mas, kekasang (perada kuning) dan kain putih untuk kamen (pembungkus) dari ponjen, benang Tri Datu (tiga warna : putih, merah, hitam) yang merupakan lambang Tri Murti, sok keben sebagai alas pojen, kelakat sudamala sebagai tempat rerajahan, buah sumberwantu, buah pekat, tuwung polo (terong yang berbentuk seperti otak), meka (kaca cermin), pis bolong (uang kepeng) yang berjumlah 11 (sebelas) buah, bija lilit, tabia bun (cabai kriting), beras, porosan, buat (akar pohon canging), buah dari tanaman menori, asam, blatung (bunga kaktus), jarum, buah jaka (buah enau), buah jarak yang berwarna putih, srikekili dari janur atau daun lontar yang berfungsi sebagai rambut atau kepala dari ponjen.



2.9 Mitologi-mitologi yang terkandung Dalam Bale Gading
Diceritakan terbakarnya Sanghyang Semara dan Dewi Ratih oleh sinar mata ketiga dari Bhatara Siwa karena berani menggoda beliau pada saat Bhatara Siwa sedang bersemadi. Diceritakanlah bahwa sorga sedang diserang oleh raksasa Nilarudraka, seorang raksasa yang sakti ingin menguasai sorga. Para dewa-dewa semuanya kalah tidak ada yang sanggup melawannya.
Akhirnya para dewa-dewa datang menghadap Bhagawan Wraspati untuk menanyakan dan meramalkan siapa yang akan sanggup mengalahkan raksasa tersebut. Akhirnya hasil ramalan ternyata bahwa raksasa Nilarudraka hanya akan dapat dikalahkan oleh putranya Bhatara Siwa yang berkepala gajah. Ternyata pada saat itu Bhatara Siwa belum berputra di samping itu beliau sedang bersemadi (bertapa), yang tidak ada seorang pun yang berani untuk mengganggunya. Namun oleh karena keadaan mendesak, maka para Dewa-Dewa memutuskan bahwa akan membangunkan Bhatara Siwa, dan Dewa yang akan ditugaskan untuk membangunkan beliau adalah Dewa Semara atau Dewa Kama. Walaupun tugas tersebut penuh resiko, namun dilaksanakan juga oleh Bhatara Kama, demi kepentingan para Dewa-Dewa semua dan sorga yang sedang terancam.
Demikianlah Dewa Kama dengan diantar oleh para Dewa-Dewa menuju Gunung Kailasa, tempat Bhatara Siwa bertapa dan setelah sampai di tempat tersebut Bhatara Kama pun lalu melepaskan panahnya yang mengenai dada Bhatara Siwa. Oleh karena panah yang dilepaskan adalah panah asmara, maka seketikalah Bhatara Siwa yang sedang bersemadi tergoyah hatinya, tiba-tiba rindu kepada Dewi Uma, serta Beliau lalu membuka mata.
Namun ternyata di hadapan beliau dilihat Dewa Kama yang masih memegang busur panah diantar oleh para Dewa-Dewa. Dan sadarlah Bhatara Siwa bahwa bangunnya Bhatara Siwa bahwa bangunnya beliau dari semadi-Nya tidak lain karena panah asmara Dewa Kama, maka seketika timbullah marah beliau berupa api yang menyorot dan membakar Dewa Kama. Dewa-Dewa semua datang dan mohon ampun kepada Bhatara Siwa agar Dewa Kama dapat dihidupkan lagi, karena kesalahan tersebut bukanlah kesalahan Dewa Kama, melainkan adalah kesalahan para Dewa-Dewa yang meminta bantuan kepada Dewa Kama, agar Bhatara Siwa menghentikan semadi-Nya, karena ada raksasa sakti, yaitu: Nilarudraka sedang mengancam sorga. Permohonan para Dewa-Dewa tidak dikabulkan, tidak berapa lama kemudian datanglah Dewi Ratih, yaitu istri dari Dewa Kama, sambil menangis memegang kaki Bhatara Siwa, namun Bhatara Siwa pun tidak mengabulkan juga.
Oleh karena itu sebagai tanda setia kepada suami maka Dewi Ratih pun memohon kepada Bhatara Siwa agar dirinya dibakar juga, karena ingin mengalami nasib yang sama. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhatara Siwa, sehingga untuk kedua kalinya keluar api yang membakar hangus Dewi Ratih, dari sela-sela kening Bhatara Siwa. Selanjutnya bahwa Bhatara Siwa yang telah terkena panah asmara sangat rindu pada Dewi Uma dan akhirnya bertemulah beliau. Pertemuan ini menyebabkan mengandungnya Dewi Uma. Pada saat Dewi Uma dan Bhatara Siwa berjalan-jalan di puncak gunung Kailasa, maka dijumpailah oleh Dewi Uma onggokan abu dan Dewi Uma pun bertanya, menanyakan abu apa sebenarnya itu?. Dewa Siwa pun menjelaskan bagaimana bisa terjadi gundukan abu tersebut, yang tidak lain merupakan jazad dari Dewa Kama dan Dewi Ratih. Setelah mendengar cerita dari Bhatara Siwa itu, maka Dewi Uma pun meminta Dewa Siwa agar kedua Dewa tersebut dihidupkan lagi, karena kedua Dewa tersebut di samping bermaksud baik juga karena panah Bhatara Kamalah yang menyebabkan pertemuan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma, andaikata tidak, maka Dewa Siwa pun mungkin tidak merindukan Dewi Uma. Atas permohonan Dewi Uma maka Bhatara Siwa pun mengabulkan permintaan tersebut namun dengan catatan bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih tidak bisa dihidupkan lagi di sorga. Oleh karena itu ditaburkanlah oleh Bhatara Siwa dan Dewi Uma, bersama-sama abu dari Dewa Kama dan Dewi Ratih itu ke dunia, dengan perintah agar jiwa Dewa Kama dan Dewi Ratih hidup di dunia dan memasuki lubuk hati setiap insan, sehingga timbullah rasa saling cinta mencintai. Demikianlah jiwa Dewi Ratih dan abunya memasuki setiap makhluk yang berbentuk wanita (betina) sedangkan Dewa Kama memasuki lubuk hati setiap pria (jantan). Karena itu pria dan wanita saling rindu merindukan karena berasal dari jiwanya Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Kelompok abu yang tersebar dari Dewa Kama jatuh di Kahuripan, sehingga lahirlah Mantrining Kahuripan, sedangkan abu Dewi Ratih yang tersebar jatuh di Deha. Inilah yang menyebabkan sehingga Mantrining Kahuripan dan Galuh Deha selalu bertemu dan berpasangan.
Diceritakan selanjutnya Dewi Uma yang sedang mengandung besar, menimbulkan keresahan hati dari para Dewa, karena cemas memikirkan apakah putra Dewi Uma nanti akan berkepala gajah seperti yang diramalkan. Oleh karena itu para Dewa pun akhirnya membuat suatu upaya, yaitu gajah Dewa Ludra yang bernama gajah Airawata digiring dan dihalau kehadapan Dewi Uma yang sedang memetik bunga di taman sehingga Dewi Uma sangat terkejut dan pada saat itu lahirlah Dewa Gana yang berkepala gajah dan berbadan manusia. Gembiralah para Dewa-Dewa karena usahanya sudah berhasil. Tetapi pada saat itu pula raksasa Nilarudraka telah datang kembali menyerang sorga. Dewa Gana yang masih bayi diminta untuk dibawa ke medan perang. Dalam pertempuran tersebut Dewa Gana yang masih bayi dan belum bisa berjalan itu sudah diadu, dan terkena pukul Raksasa Nilarudraka. Tetapi anehnya tiap kali dipukul Dewa Gana pun semakin besar demikian seterusnya. Saat peperangan itu saja Dewa Gana sudah menjadi dewasa dan sudah bertaring besar oleh karena saat itu Dewa Gana tidak bersenjata maka taring itulah yang dipatahkan dan dipakai senjata sehingga dengan patahan taring itu dibunuhlah Raksasa Nilarudraka dan sorgapun kembali aman .
(Lontar Cudamani II, hal 15)
Sebagaimana diketahui Dewa Kama sering digambarkan sebagai Dewa Cinta ataupun Dewa Asmara. Cinta adalah manifestasi dari keinginan, dengan cinta maka dunia ini digerakkan, tidak ada suatu gerakan akan terjadi kalau tidak karena dorongan keinginan (cinta).
Bila dihubungkan dengan diri kita (bhuana alit) maka atma yang tenang dan non aktif diumpamakan sebagai jiwa yang sedang bersemadi. Dewa Kama adalah simbol dari cinta (tri guna) yang merupakan motivator dari pada gerak. Cinta disini berwujud cinta kasih dan keinginan. Dewa kama yang dilukiskan memanah Dewa Siwa dengan panah asmara, dan hal ini dapat diumpamakan seperti manusia, dimana atmanya mulai digerakkan oleh keinginan sehingga menjadi aktif. Keinginan adalah merupakan perwujudan dari cinta atau ingatan.
Keinginan ada dua macam yaitu yang positif dan negatif, sedangkan sattwam bersifat positif rajas dan tamas mementingkan diri sendiri (ahamkara) sedangkan sattwam mengabdi untuk kepentingan orang banyak (anresangsya).
Sorga yang diserang oleh Raksasa Nilarudraka adalah simbol dari tubuh kita (bhuana alit) yang ditantang olah alam (lingkungan) yang kelihatan seperti mau menghancurkan. Dewa-Dewa di Sorga yang memerangi Raksasa Nilarudraka, adalah simbol dari kekuatan energi yang sering dilukiskan dengan Dewa Pala, di dalam Kanda Pat Dewa dilukiskan terdapat dalam tubuh manusia. Pertempuran yang terjadi merupakan simbul perjuangan manusia menghadapi alam yang ditantang dan digoda oleh alam ini.
Siwa adalah simbol utama dari Gama Pati adalah kekuatan yang berasal dari Siwa. Pertempuran Gana Pati melawan Nilarudraka adalah suatu simbol dimana kekuatan atma harus dibangkitkan, hanya dengan kekuatan atma maka segala godaan ala mini akan dapat diatasi. Dewa Gana cepat menjadi besar karena pukulan dan hantaman dari Raksasa Nilarudraka demikian pulalah halnya kekuatan manusia akan tambah pandai bertambah mampu serta bertambah bijaksana karena tantangan-tantangan dari alam. Karena tantangan dari lingkungan inilah manusia kain kuat dan maju. Makin hebat tantangan maka makin baju dan makin dewasalah manusia itu seperti halnya dengan Dewa Gana Pati, baru bisa mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya yang dipatahkan dan dipakai sebagai senjata, demikian pula hal ini adalah merupakan simbol di mana manusia harus melepaskan sebagian sifat kebuasannya.
Demikian Gana Pati yang mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya adalah merupakan suatu simbolis dari manusia yang baru akan dapat mengalahkan tantangan dan godaan dunia ini, kalau dia mampu mengendalikan kebuasannya.
Sebagaimana halnya Dewa Kama dan Dewi Ratih adalah merupakan suatu simbolis dari suatu kesetiaan, dimana Dewi Ratih selalu bersatu tidak mau berpisah dengan Dewa Kama. Baik Dewi Ratih maupun Dewa Kama adalah merupakan lambang keinginan tidak lebih dari batu yang tidak akan bergerak sepanjang zaman, sebab itu sebagai manusia yang dilahirkan untuk berkarma, meningkatkan dirinya agar bisa mencapai moksa, maka keinginan itu harus ada.
Keinginan dan hawa nafsu bisa menjadi baik bisa juga menjadi tidak baik tergantung daripada tujuannya. Bila keinginan itu ditujukan untuk pengabdian, kepentingan orang banyak, kepentingan negara dan sebagainya, maka keinginan yang sedemikian adalah keinginan yang mulia. Tetapi bila keinginan itu hanya ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau akunya maka keinginan yang semacam itu adalah tidak baik.
Selanjutnya Dewa Kama berkorban demi untuk menyelamatkan sorga dan para Dewa-Dewa, adalah merupakan simbol dari kerelaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Maka itulah Dewa Kama diberi hidup di dunia oleh Bhatara Siwa, bukan disorga. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan.
Dimana dalam upacara tertentu diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi. Dewa Gana yang sering dianggap sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai Dewa penakluk terhadap segala bencana. Dengan demikian Dewa Gana adalah merupakan simbul dari pada pengetahuan atau ilmu.Demikian pula ilmu itu makin ditantang, makin berkembang dan dengan pengetahuan itu pula manusia dapat mengatasi segala tantangan.
(Lontar Cudamani II, hal 15)

Kutipan cerita tersebut adalah merupakan asal mula dari mengapa bale gading itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.

















BAB III
METODA PENELITIAN

3. 1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif di bidang biologi (kajian etnobotani). Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk memperoleh data (informasi) status suatu gejala, keadaan atau variabel menurut apa adanya pada saat penelitian dilaksanakan (Bawa, 2003).

3. 2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah 5 orang Sulinggih , 6 orang Tukang Banten, 1 orang Bendesa Adat dan 2 orang Guru Agama yang ada di Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.
3.2.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah 3 orang Sulinggih, 4 orang Tukang Banten, 1 orang Bendesa Adat , 1 orang guru Agama dan 2 orang ahli botani.

3. 3 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini dilaksanakan di Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung dan waktu penelitian 15 Juni 2008 sampai 11 Juli 2008.


3. 4 Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif maka dalam pengambilan data digunakan beberapa tehnik, antara lain:
3.4.1 Observasi
Untuk mendapatkan data tentang botani bambu kuning dilakukan dengan kajian pustaka dan melihat secara langsung keberadaan tanaman bambu kuning yang ditanam oleh masyarakat yang ada di daerah penelitian.
3.4.2 Wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang sesuai dilakukan untuk mendapatkan data tentang etnobotani bambu kuning dalam pembuatan bale gading. Untuk botani bambu kuning wawancara dilakukan dengan masyarakat di Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal serta wawancara juga dilakukan pada 3 (tiga) orang ahli botani dari LIPI dan BPTH Bali
Untuk etnobotani bambu kuning dalam pembuatan bale gading beserta filosofi dari bale gading dilakukan terhadap 9 (sembilan) orang sampel yaitu 3 (tiga) Sulinggih, 4 (empat) Tukang Banten, 1 (satu) orang Bendesa Adat dan 1 (satu) orang Guru Agama. Kesembilan orang tersebut diwawancarai tentang pengetahuan mengenai etnobotani bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading. Format Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain :


a. Data Responden
Nomor :
Nama :
Jenis Kelamin :
TTL :
Umur :
Alamat :
Jabatan :

b. Pertanyaan wawancara botani bambu kuning (Bambusa vulgaris Schard) dengan ahli botani dari LIPI dan BPTH Bali
1. Dari manakah asal-usul tanaman bambu kuning?
2. Bagaimana penyebaran di Indonesia? Dan di Bali pada khususnya?
3. Dimanakah habitat tumbuh dari tanaman bambu kuning?
4. Bagaimana perbedaan morfologi tanaman bambu kuning dengan tanaman bambu lainnya?
5. Apakah tanaman bambu kuning memiliki kelebihan dari tanaman bambu jenis lainnya?
6. Bagaimana cara membudidayakan tanaman bambu kuning?
7. Hama dan penyakit apa yang sering menyerang tanaman bambu kuning?
8. Apa sajakah manfaat dari tanaman bambu kuning?
9. Apakah ada hari-hari / waktu-waktu tertentu yang dilarang untuk memotong tanaman bambu kuning? Mengapa demikian?
10. Usaha-usaha apa yang dapat dilakukan penduduk dalam melestarikan bambu kuning agar tidak terjadi kelangkaan?

c. Pertanyaan wawancara botani bambu kuning (Bambusa vulgaris Schard) dengan masyarakat di Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung
1. Apakah setiap keluarga memiliki tanaman bambu kuning pada karang / kebun masing-masing?
2. Bagaimana perbedaan morfologi tanaman bambu kuning dengan tanaman bambu lain?
3. Dimanakah habitat tumbuh dari tanaman bambu kuning?
4. Bagaimana cara membudidayakan tanaman bambu kuning?
5. Hama dan penyakit apa yang sering menyerang tanaman bambu kuning?
6. Apa sajakah manfaat dari tanaman bamabu kuning?
7. Apakah ada hari-hari/waktu-waktu tertentu yang dilarang untuk memotong bambu kuning? Mengapa demikian?
8. Usaha-usaha apa yang dapat dilakukan penduduk dalam melestarikan bambu kuning agar tidak terjadi kelangkaan?

d. Pertanyaan Wawancara Etnobotani Bambu Kuning Dalam Pembuatan Bale Gading
1. Apa pengertian bale gading?
2. Apakah dalam pembuatan bale gading memiliki ukuran tertentu?
3. Mengapa dalam pembuatan bale gading menggunakan bambu kuning?
4. Selain bambu kuning bahan-bahan lain apa saja yang digunakan dalam pembuatan bale gading?
5. Apakah bambu kuning ini dapat digantikan dengan bahan lain?
6. Apa fungsi dari bambu kuning dalam upacara yadnya selain sebagai bahan pembuat bale gading?
7. Bagaimana peranan bale gading dalam upacara potong gigi?
8. Selain upacara potong gigi, upacara apa saja yang menggunakan bale gading sebagai salah satu sarana upakaranya? Serta memiliki peranan apa bale gading dalam upacara tersebut?
9. Apa saja upakara-upakara yang terkandung didalam bale gading?
10. Mitologi-mitologi apa yang terkandung dalam bale gading sehingga dijadikan sebagai salah satu sarana upakara dalam upacara yadnya?
11. Apakah makna upacara potong gigi?
12. Mitologi/filosofi apa yang terkandung dalam upacara potong gigi?
3.4.3 Pencatatan Dokumen
Hasi observasi dan wawancara tersebut dicatat dalam catatan deskriptif untuk digunakan sebagai analisis data.
3. 5 Analisis Data
Data mengenai etnobotani bambu kuning (Bambusa vulgaris Schard) dalam pembuatan Bale Gading sebagai sarana kelengkapan upakara dalam upacara Potong Gigi (Mepandes) dianalisis secara deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh keadaan variabel menurut apa adanya pada saat penelitian dilaksanakan (Bawa, 2003). Maka analisis data dalam penelitian ini digunakan analisis naratif yang akan dibahas dalam Bab IV.









BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Botani Bambu Kuning
Hasil penelitian untuk botani bambu kuning diperoleh dari kajian pustaka tentang bambu dan bambu kuning serta melakukan wawancara dengan ahli botani dari LIPI dan BPTH Bali. Wawancara juga dilakukan dengan masyarakat di Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung dengan mengggunakan pedoman wawancara.
a. Botani Bambu Kuning Berdasarkan Kajian Pustaka
Tanaman Bambu kuning yang memiliki nama latin Bambusa vulgaris Schard memiliki dua varietas, bambu yang berwarna (berbuluh) kuning disebut bambu kuning dan yang berbuluh hijau disebut dengan bambu ampel. Selain nama tersebut, nama lokal dari bambu kuning adalah bambu kuning; pring kuning di Jawa; awi koneng, haor koneng di Sunda; oo muncar di Bima;dan tiying gading di Bali. Dalam bahasa Inggris sering disebut dengan yellow bamboo (Widjaja, 2001).
Bambu ini merupakan tumbuhan yang berasal dari Dunia Lama, khususnya dari kawasan Asia Tropis. Jenis ini diyakini sebagai bambu yang paling banyak dibudidayakan di seluruh kawasan tropis dan subtropis. Dikawasan Asia Tenggara, bambu jenis ini banyak dibudidayakan dan kadang tumbuh dimana saja. Namun ada pula yang mengatakan bahwa bambu ini merupakan tanaman endemik asli Indonesia (LIPI, 1977).
Bambu kuning memiliki rumpun tegak, tinggi 10-20 m, diameter 4-10 cm, permukaan batang kuning mengkilap. Terkadang terdapat kultivar yang ruasnya mengembung,; ruasnya 20-45 cm, permukaan batang licin dilapisi lilin ketika muda. Cabang tumbuh diatas permukaan tanah. Pelepah buluh ditutupi oleh bulu hitam yang berangsur-angsur menjadi gugur, demikian pula pelepah buluhnya mudah gugur. Pelepah buluh dilengkapi dengan kuping pelepah buluh yang menonjol membulat dengan ujung yang agak membengkok keluar, dan helaian daun berukuran 9 – 30 x 1 – 4 cm, gundul, kuping pelepah buluh kecil, tinggi 1 mm dengan bulu kejur yang pendek 1 – 2 mm; ligula rata, tinggi 1 – 12 mm (Widjaja, 2001)..






Gambar 4.1 Akar simpodial bambu kuning
(Sumber : gambar sendiri)





Foto 4.2 Rebung bambu kuning
(Sumber : foto sendiri)








Foto 4.3 Buluh bambu kuning
(Sumber : foto sendiri)






Foto 4.4 Pelepah buluh bambu kuning
(Sumber : foto sendiri)







Foto 4.5 Percabangan bambu kuning
(Sumber : foto sendiri)






Foto 4.6 Helain daun bambu kuning
(Sumber : foto sendiri)

Habitat tumbuh dari tanaman bambu kuning dapat dijumpai di seluruh kawasan hingga ketinggian 1200 m dpl. Bambu ini tumbuh baik didaerah dataran rendah dengan berbagai kondisi kelembaban udara dan berbagai tipe tanah, baik didaerah yang basah, subur maupun kering, yang tidak subur, digunung, didataran rendah maupun pinggir pantai (Widjaja, 2001).
Perbanyakan Bambusa vulgaris Schard dengan menggunakan rhizoma, stek batang atau cabang, cangkok dan kultur jaringan. Stek rhizoma diambil dari rumpun yang berusia 1-2 tahun memberikan hasil yang lebih baik. Namun yang paling sering digunakan adalah stek batang atau cabang dari batang yang tidak terlalu tua atau muda. Pemanenan pada akhir periode musim hujan. Pemanenan dapat dimulai setelah tanaman berumur 3 tahun, puncak produksi mulai umur 6-8 tahun. Rebung dapat dipanen 1 minggu setelah keluar dari permukaan. Satu rumpun dalam setahun dapat menghasilkan 3-4 batang baru (Soejono, 1991).
Manfaat dari tanaman bambu kuning antara lain dapat digunakan sebagai bahan bangunan, pagar, jembatan, alat angkutan (rakit), pipa saluran air, dan berbagai kebutuhan rumah tangga walaupun bambu ini tidak terlalu baik. Selain itu tunas mudanya (rebung) dapat dimakan, air rebusan dari rebung bambu kuning yang muda dapat dijadikan sebagai obat lever atau hepatitis, bambu ini juga dapat menghasilkan bubur kayu yang baik untuk bahan pembuat kertas, dan yang paling penting bambu kuning ini sering digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan keagamaan (Bumi Mandiri Center, 2008).

















Foto 4.7 Rumpun Bambusa vulgaris Schard
(Sumber : Foto sendiri)


b. Botani Bambu Kuning Berdasarkan Hasil Wawancara
Tabel 1: Hasil wawancara botani bambu kuning dengan ahli botani dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan BPTH (Balai Pembenihan Tanaman Hutan) Bali.
No Pertanyaan Hasil wawancara
1. Dari manakah asal-usul tanaman bambu kuning? Berasal dari kawasan Asia tropis, namun ada pula yang menyebutkan merupakan tanaman asli Indonesia.
2. Bagaimana penyebarannya di Indonesia? Dan di Bali pada khususnya? Penyebarannya sangat luas hampir di seluruh Indonesia antara lain paling banyak di pulau Jawa yaitu di Bogor, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan juga di Pulau Kalimantan, Bali, Lombok serta Sulawesi. Sedangkan untuk di Bali sendiri juga hampir merata diseluruh Bali namun lebih banyak terdapat di Desa Penglipuran Bangli, yaitu di Gunung Batur Bangli terdapat lahan sekitar 50 Ha yang khusu menanam bambu kuning.
3. Dimanakah habitat tumbuh dari tanaman bambu kuning? Dapat tumbuh di kawasan yang tropis maupun subtropis, ditempat yang kering dan lembab. Dari dataran rendah hingga tinggi dengan ketinggian maksimum 1200 m dpl.
4. Perbedaan morfologi tanaman bambu kuning dengan tanaman bambu lain? Tanaman bambu kuning memiliki rumpun tegak, tinggi 10 - 20 m, diameter 4 – 10 cm, permukaan batang kuning, atau kuning bergaris-garis hijau, kadang ada kultivar yang ruasnya menggembung; jarak antara buku 20—45 cm, permukaan batang licin dilapisi lilin ketika muda. Cabang tumbuh di atas permukaan tanah. Pelepah buluh ditutupi oleh bulu hitam yang berangsur-angsur menjadi gugur, demikian pula pelepah buluhnya mudah gugur. Perbedaan secara ilmiah juga dapat dilihat teletak pada
1. kelopak daunnya,
2. bunganya berbeda satu dengan yang lain (sedikit susah ditemukan) tanaman ini hanya sekali berbunga dan tergantung jenisnya.
5. Apakah tanaman bambu kuning memiliki kelebihan dari tanaman bambu jenis lain? Secara morfologi memang bambu kuning (gading) ini mempunyai kelebihan dibidang warna kuning, buluhnya yang berwarna kuning dengan garis hijau yang jarang dimiliki oleh bambu yang lain yang membuat bambu jenis menjadi lebih menarik.
6. Bagaimana cara membudidayakan tanaman bambu kuning? Dengan cara stek cabang atau batang (buku yang memiliki tunas baru) dan dari rebung beserta akarnya dapat juga dengan cangkok dan kultur jaringan. Yang paling sering digunakan adalah dengan stek batang atau cabang.
7. Hama dan penyakit apa yang sering menyerang tanaman bambu kuning? Hama dan penyakit pada tanaman bambu kuning tidak terlalu bermasalah karena semasa hidup tidak terlalu banyak yang menyerang. Biasanya hanya terdapat pengerek pada batang muda. Namun hama sering kali menyerang setelah masa panen yaitu oleh hama kumbang pengerek batang (bubuk) , hal ini karena kandungan tepung yang terdapat pada batang bambu kuning sangat tinggi.
8. Apa sajakah manfaat dari tanaman bambu kuning? Yang paling umum tentunya sebagai bahan bangunan sementara, dari pembuatan kandang sampai pembuatan rumah. Untuk playwood (lantai dari bambu), alat – alat rumah tangga, bahan pembuat kertas, kerajinan tangan, tanaman hias.
Disamping itu di Bali yang mempunyai adat budaya yang tinggi banyak menggunakan bambu kuning sebagai sarana kelengkapan upakara dalam upacara yadnya, salah satunya pembuatan bale gading pada upacara manusa yadnya dan pitra yadnya (membuat tumpang salu). Bambu ini juga dapat digunakan sebagai obat tradisional lever dengan merebus rebung bambu (batang muda) dan diminum.

9. Apakah ada hari-hari / waktu tertentu yang dilarang untuk memotong bambu kuning? Mengapa demikian Secara ilmiah tidak ada hari-hari tertentu dilarang memanen bambu kuning atau bambu lainnya, namun bila bambu digunakan untuk kebutuhan industri biasanya pemanenan dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus. Hal ini dimaksudkan agar setelah dipanen tanaman bambu yang digunakan untuk kebutuhan industri dapat langsung dikeringkan untuk menghindari terserang hama yang dapat mengakibatkan kerugian.
10. Usaha-usaha apa yang dapat dilakukan penduduk dalam melestarikan bambu kuning agar tidak terjadi kelangkaan? Dengan cara lebih banyak lagi membudidayakan tanaman bambu kuning.
Penanaman dilakukan oleh masing-masing penduduk dengan menanam di areal pekarangan rumah, diareal pelaba Pura dan pada lahan tidur. Karena selain bermanfaat dari segi ekonomi juga bermanfaat dari segi ekologi yaitu sebagai penahan erosi.

Tabel 2: Hasil wawancara botani bambu kuning dengan masyarakat di Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.
No Pertanyaan Hasil wawancara
1. Apakah setiap keluarga memiliki tanaman bambu kuning pada karang/ kebun masing-masing? Tidak semua penduduk memiliki tanaman bambu kuning pada karang atau kebun masing-masing.
2. Perbedaan morfologi tanaman bambu kuning dengan tanaman bambu lain? Buluh (batang) tanaman bambu kuning berwarna kuning, helaian daunnya lebih sempit dan diameter batang juga lebih kecil dari tanaman bambu lainnya, selain itu rumpun dari tanaman bambu kuning lebih jarang.
3. Dimanakah habitat tumbuh dari tanaman bambu kuning? Tanaman bambu kuning tumbuh pada lahan kering ataupun basah, di dataran rendah maupun dataran tinggi.
4. Bagaimana cara membudidayakan tanaman bambu kuning? Tanaman bambu kuning dibudidayakan dengan stek cabang atau batang, dengan cangkok maupun dari rebung muda beserta akarnya.
5. Hama dan penyakit apa yang sering menyerang tanaman bambu kuning? Hama pengerek batang (seseh).
6. Apa sajakah manfaat dari tanaman bambu kuning? Batangnya dapat dibuat untuk bahan bangunan, untuk bahan pembuatan sarana kelengkapan upakara dalam upacara yadnya seperti bale gading dalam upacara yadnya dan tumpang salu dalam upacara pitra yadnya, rebung (buluh muda) bambu kuning selain dapat dikonsumsi juga dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk penyakit lever (hepatitis).
7. Apakah ada hari-hari / waktu tertentu yang dilarang untuk memotong bambu kuning? Mengapa demikian Pada hari minggu dilarang untuk memotong tanaman bambu dan sejenisnya karena menurut mitologi Hindu hari tersebut adalah duwasa (hari baik) untuk menanam tanaman sarwa soca (buku) dan bukan untuk memotong. Dan pada saat memotong bambu apabila digunakan untuk kebutuhan upacara yadnya sebaiknya membawa canang sari untuk memohon izin kepada Dewa Sambhu agar kelak upacara tersebut berjalan lancar.
8. Usaha-usaha apa yang dapat dilakukan penduduk dalam melestarikan bambu kuning agar tidak terjadi kelangkaan? a. Keinginan dari masyarakat dengan menanam tanaman bambu kuning tersebut pada pekarangan rumah dan tempat-tempat suci / merajan yang ada di Desa Jagapati
b. Usaha dari pemerintah desa sendiri yang memberikan pengertian tentang arti penting dari tanaman bambu kuning itu sendiri terhadap keperluan adat bagi masyarakat di Desa Jagapati agar nantinya tidak akan terjadi kepunahan akan tanaman tersebut.

4.1.2 Etnobotani Bambu Kuning
Hasil wawancara yang dilakukan dengan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas 3 (tiga) orang sulinggih, 4 (empat) orang tukang banten, 1 (satu) orang bendesa adat dan 1 (satu) orang guru agama.
Tabel 3: Hasil wawancara etnobotani bambu kuning dengan masyarakat di Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.
No Pertanyaan Hasil wawancara
1. Apa pengertian bale gading? Bale yang berwarna kuning yang terbuat dari bambu kuning (gading), memiliki 4 (empat) buah sake (tiang) berbentuk persegi empat dan memiliki atap, keseluruhan bangunan diberi hiasan serba kuning, sehingga terlihat seperti bangunan emas.
Bale itu Sthana yang indah, yang merupakan Sthana dari Dewa yang memiliki keindahan yang merupakan Sthananya Sang Hyang Semarajaya dan Dewi Semara Ratih.
2. Apakah dalam pembuatan bale gading memiliki ukuran tertentu? Ukuran itu didasari dengan pengurip dan tergantung pada kebutuhan. Pada ukuran tertentunya ukurannya satu atau dua lengkat dengan penguripnya dua atau tiga jari ”Urip” = kehidupan, karena bale gading sebagai Sthana maka bangunan tersebut agar supaya maurip (mateeb) walaupun tanpa dipasupati sudah maurip (hidup) dengan dua lengkat atau tiga lengkat jari yang merupakan patokan dari pembuatan bale gading. Bale gading memiliki ukuran tertentu yang sesuai dengan asta kosala – kosali (berbentuk simetris).
Pembuat bale gading adalah seorang Wenagi (Tukang Bangunan tempat suci sesuai dengan asta kosala kosali).
3. Mengapa dalam pembuatan bale gading menggunakan bambu kuning? Menurut bahasa sansekerta. Tihing gading itu berasal dari kata ”pring” yang artinya api dan api artinya cahaya dan gading itu mengandung makna amerta yang juga disebut keindahan, jadi bambu kuning adalah api keindahan. Jadi secara lebih jelasnya tiying/bambu gading ini adalah merupakan simbol dari Dewa Keindahan. Dalam Lontar Semara Dahna yang disebut Dewa Keindahan adalah Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih dimana beliau merupakan sebagai penuntun para remaja, karena disaat remajalah jiwa manusia itu indah.
4. Selain bambu kuning bahan-bahan lain apa saja yang digunakan dalam pembuatan bale gading? Yang menjadi pokok adalah bambu gading dan bahan – bahan lain seperti bunga, kain, pelepah jaka (enau), daun pisang emas dan pelepah pisang itu adalah merupakan hiasan saja. Dan merupakan kesesuaian dari karya seni agama dan budaya si pembuat bale gading tersebut.
- bale gading adalah agama
- bentuknya adalah budaya
- hiasannya adalah seni.
5. Apakah bambu kuning ini dapat digantikan dengan bahan lain? Tidak bisa digantikan dengan bahan – bahan lain, bale gading hanya dapat dibuat dengan bambu kuning.
6. Apa fungsi dari bambu kuning dalam upacara yadnya selain sebagai bahan pembuat bale gading? a. Dalam Dewa yadnya (Ngenteg linggih) bambu gading dipergunakan pada pembuatan bale Pagening, penjor Rsigana
b. Dalam upacara Pitra Yadya, bambu kuning digunakan dalam pembuatan tumpang salu dalam rangakaian upacara ngaben, dan digunakan sebagai tunjang pada acara ngangget don bingin (memetik daun beringin) dalam upacara nyekah.
Dari semua manfaat dari bambu kuning tersebut memiliki tujuan untuk mencari keindahan dalam arti spiritual. Yang mana indah secara kedewataan supaya upacara tersebut bermutu seperti Daiwi Sampat.
7. Bagaiman peranan bale gading dalam upacara potong gigi? Peranan bale gading adalah sebagai salah satu kelengkapan upakara dalam upacara potong gigi yang mana merupakan Sthana dari Sang Hyang Semara Ratih dimana merupakan Dewa Kecantikan dan Kemuliaan yang nantinya diharapkan bagi yang dipotong giginya mengikuti sifat dari Sang Hyang Semara Ratih tersebut.
8. Selain upacara potong gigi, upacara apa saja yang menggunakan bale gading sebagai salah satu sarana upakaranya? Serta memiliki peranan apa bale gading dalam upacara itu? Tidak ada kecuali bila dalam upacara yadnya tersebut terdapat rentetan upacara potong gigi.

9. Apa saja upakara-upakara yang terkandung didalam bale gading? Pejati yang terdiri dari peras, daksina dan ajuman; nyuh gading (kelapa gading/kuning) yang telah dikasturi, canang sari, suci dan ponjen.

10. Mitologi-mitologi apa yang terkandung dalam bale gading sehingga dijadikan sebagai salah satu sarana upakara dalam upacara yadnya? Diceritakan Dewa Siwa membakar Sang Hyang Semara dikarenakan keberanian beliau memanahkan panah asmara kepada Dewa Siwa yang sedang melakukan pertapaan, akibat saat itu sorga loka sedang terancam oleh amukan dari Raksasa Nilarudraka. Dewi Ratih sebagai istri juga meminta kepada Dewa Siwa untuk membakar dirinya sebagai lambang cinta beliau sebagai istri. Akhirnya abu keduanya ditebarkan kebumi untuk memberikan rasa cinta kasih kepada semua makhluk yang ada didunia. Oleh karenanya dalam upacara potong gigi digunakan bale gading sebagai Stana dari Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih untuk memuja beliau, dikarenakan dalam upacara potong gigi diharapkan adanya rasa cinta kasih bagi mereka yang melaksakannya sehingga akhirnya diperoleh kebahagiaan.
11. Apakah makna upacara potong gigi? Suatu upacara yadnya yang mana pelaksannanya bertujuan untuk menghilangkan sad ripu yaitu Kama (nafsu/keinginan), Loba (rakus), Krodha (marah), Mada (kemabukan), Moha (kebingungan), Matsarya (iri hati) yang terdapat dalam diri manusia yang disimboliskan dengan pemotongan enam gigi bagian atas manusia.
Orang Hindu Bali percaya bahwa musuh yang paling berbahaya dan dapat menguasai manusia berupa sifat-sifat rajas dan tamas yakni nafsu atau keinginan, sifat – sifat yang rakus, penuh amarah, mabuk oleh hal – hal keduniawian, kebingungan, serta rasa iri hati atau cemburu akan sesuatu hal dan dengan melaksanakan upacara potong gigi maka diharapkan nantinya yang telah potong gigi akan menjadi anak yang suputra.
12. Mitologi/filosofi apa yang terkandung dalam upacara potong gigi? Dikisahkan Bethara Kala dengan kemarahan mencari kedua orang tuanya (pencipta Beliau) oleh Bhatara Siwa apabila dia ingin bertemu dengan penciptaNya maka disarankan untuk memotong gigi taringnya, setelah itu barulah Bhatara Kala bertemu dengan Penciptanya (Bhatara Siwa dan Dewi Uma).


4.2 Pembahasan
Hampir sebagian besar kehidupan masyarakat Bali diwarnai dengan berbagai upacara adat, sehingga dapat dikatakan kehidupan spiritual masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari berbagai upacara/ritual. Upacara-upacara diselenggarakan ada yang bersifat kadangkala, namun ada pula yang dilaksanakan setiap hari.
Oleh sebab itu di Bali dapat terlihat dibeberapa tempat terdapat sajian-sajian bekas upacara yang mungkin hanya dilaksanakan secara kecil-kecil saja. Pada dasarnya upacara tidak dapat dipisahkan dengan upakara baik besar maupun kecil sesuai dengan keadaan. Dalam kehidupan masyarakat Hindu terdapat berbagai macam upacara yadnya yang memuat berbagai upakara didalamnya. Upakara tidak hanya berupa benten saja namun upakara juga dapat berupa bangunan tempat meletakkan sesajen. Di Desa Jagapati Kecamatan Abiansemal terdapat satu jenis alat upakara yang dimanfaatkan dalam upacara potong gigi (mepandes) yaitu bale gading. Bale gading sendiri berasal dari kata ’bale’ yang berarti bangunan dan ’gading’ yang artinya warna kuning. Bale gading merupakan bangunan yang berwarna kuning yang terbuat dari bambu kuning (bambu gading) yang memiliki empat buah sake (tiang) yang diberi hiasan serba kuning (gading).
Ukuran dari bale gading didasarkan pada Lontar yaitu berdasarkan pada asta kosala kosali yaitu tata cara membuat bangunan secara Hindu. Ukuran itu juga didasari dengan pengurip dan tergantung pada kebutuhan. Pada ukuran tertentunya ukurannya satu atau dua lengkat dengan penguripnya dua atau tiga jari ”Urip” = kehidupan, karena bale gading sebagai Sthana maka bangunan tersebut agar supaya maurip (mateeb) walaupun tanpa dipasupati sudah maurip (hidup) dengan dua atau tiga jari yang merupakan patokan dari pembuatan bale gading.












Foto 4.8 Bale Gading
(Sumber foto sendiri)

Dalam pembuatan bale gading haruslah menggunakan bambu kuning (tiying gading). Dimana dalam bahasa sansekerta, tiying gading itu berasal dari kata ”pring” yang artinya api dan api artinya cahaya dan gading itu mengandung makna amerta yang juga disebut keindahan, jadi bambu kuning adalah api keindahan. Jadi secara lebih jelasnya tihing/bambu gading ini adalah merupakan simbol dari Dewa Keindahan. Dalam Lontar Semara Dahna yang disebut Dewa Keindahan adalah Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih dimana beliau merupakan sebagai penuntun para remaja, karena disaat remajalah jiwa manusia itu indah. Gading juga dapat diartikan sebagai lambang dari kesucian dan cinta kasih serta kewibawaan.
Dalam Lontar Taru Pramana umat Hindu mengenal dua warna yang melambangkan kesucian, yaitu putih dan kuning. Dimana warna putih adalah lambang kesucian yang menyatakan suatu kondisi yang bebas dari segala ikatan keduniawian dan netral, sedangkan warna kuning merupakan lambang kesucian namun lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti: keagungan, kemakmuran, kewibawaan, kemuliaan serta kesempurnaan.
Hal tersebut dapat terlihat pula dari bagian buluh bambu pada lapisan luar yang berwarna kuning dan bagian isi (bagian dalam) bambu kuning yang berwarna putih sudah merupakan dua perlambang dari kesucian yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan, yang diharapkan tiap manusia memperoleh kesucian lahir dan bathin.
Oleh karenanya pemanfaatan bambu kuning pada pembuatan bale gading memiliki peranan yang sangat penting sehingga penggunaan bambu kuning tidak dapat digantikan dengan bahan lainnya.
Bale gading sendiri digunakan sebagai salah satu sarana upakara dalam upacara Manusa Yadnya yaitu dalam upacara potong gigi. Upacara ini dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang baru menginjak usia dewasa, sekitar usia 16-17 tahun. Maksud diadakannya ritual ini adalah untuk membunuh 6 (enam) musuh dalam diri kita yang disebut dengan Sad Ripu, yang meliputi: Kama (nafsu/keinginan), Loba (rakus), Krodha (marah), Mada (kemabukan), Moha (kebingungan), Matsarya (iri hati). Orang Hindu Bali percaya bahwa musuh yang paling berbahaya dan dapat menguasai manusia berupa sifat-sifat rajas dan tamas yakni nafsu atau keinginan, sifat – sifat yang rakus, penuh amarah, mabuk oleh hal – hal keduniawian, kebingungan, serta rasa iri hati atau cemburu akan sesuatu hal. Keenam musuh ini ada dalam diri setiap individu. Oleh karena itu, individu bersangkutan harus dibersihkan dari sifat – sifat ini dengan melakukan suatu prosesi ritual potong gigi. Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang Sangging (sebagai pelaksana langsung).
Dalam upacara potong gigi (mepandes) bale gading berperan sebagai Stana Sang Hyang Semara Ratih. Hal ini sesuai dalam Lontar Dewa Tattwa yang menunjukkan nama dari salah satu Dewa yaitu Dewa kecantikan (Kebagusan), yang menurut kepercayaan agama Hindu sering dipersonifikasikan dengan bulan, sebagai lambang Dewa kecantikan (kebagusan). Mengingat Rajah Ratih Candra merupakan lambang atau simbol dari Dewa kecantikan (kebagusan) dalam wujud cinta kasih-Nya dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) selanjutnya Rajah Ratih Candra tersebut ditempatkan bale gading, maka bale gading merupakan linggih (Stana) dari Sanghyang Semara Ratih. Selain dalam Lontar Dewa Tattwa pemanfaatan bale gading dalam upacara potong gigi juga terlihat dari mitologi yang terdapat dalam Lontar Cudamani II, hal 15 dalam Lontar tersebut diceritakan Dewa Siwa membakar Sang Hyang Semara dikarenakan keberanian beliau memanahkan panah asmara kepada Dewa Siwa yang sedang melakukan pertapaan, akibat saat itu sorga loka sedang terancam oleh amukan dari Raksasa Nilarudraka. Dewi Ratih sebagai istri juga meminta kepada Dewa Siwa untuk membakar dirinya sebagai lambang cinta beliau sebagai istri. Akhirnya abu keduanya ditebarkan kebumi untuk memberikan rasa cinta kasih kepada semua makhluk yang ada didunia. Oleh karenanya dalam upacara potong gigi digunakan bale gading sebagai Stana dari Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih untuk memuja beliau, dikarenakan dalam upacara potong gigi diharapkan adanya rasa cinta kasih bagi mereka yang melaksakannya sehingga akhirnya diperoleh kebahagiaan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di Desa Jagapati terdapat upakara-upakara sebagai kelengkapan dari bale gading tersebut, diantaranya adalah Nyuh gading (kelapa gading) yang telah dikasturi, airnya dibuang dan ditulisi ”Ardhanareswari” (gambar Semara Ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading itu dipendam dibelakang sanggah kemulan, kelapa gading merupakan warih dari Bhatara Surya; pejati yang terdiri atas peras yang merupakan simbol dari permohonan untuk keberhasilan dan kesuksesan, daksina merupakan lambang dari Hyang Guru sering juga disebut sesantun dalam hal ini dianggap sebagai lambang dari Hyang Tunggal. Dimana Hyang Tunggal dan Hyang Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa, ajuman merupakan simbol persembahan dalam wujud hidangan atau makanan yang dipersembahkan kepada Tuhan; canang sari sebagai simbol sarining yadnya dan simbol Tri Murti;dan suci adalah perwujudan dari Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai penerima. Suci dalam bentuk putih dan kuning adalah lambang dari keagungan dan kemewahan serta ponjen yang merupakan lambang Purusa dan Pradana (laki – laki dan Perempuan).






Foto 4.9 Kelapa Gading yang telah dikasturi
(Sumber : Foto sendiri)









Foto 4.10 Banten Pejati (terdiri atas Daksina, Peras, Ajuman)
(Sumber : Foto sendiri)






Foto 4.11 Canang Sari
(Sumber : Foto sendiri)






Foto 4.12 Banten Suci
(Sumber : Foto sendiri)





Foto 4.13 Ponjen
(Sumber : Foto sendiri)











Foto 4.14 Bale gading dan sarana kelengkapan dalam bale gading
(Sumber : Foto sendiri)

Dengan berbagai wujud persembahan yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) ini merupakan perlambang bahwa setiap manusia selam hidupnya dianggap perlu melakukan pembersihan lahir bathin, agar seseorang dapat menerima petunjuk-petunjuk yang baik dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga selama hidupnya tidak menempuh jalan yang sesat, melainkan dapat berpikir, berkata, dan berbuat yang benar, sehingga dapat memperbaiki karmanya dan akhirnya setelah meninggal rokhnya (atmanya) telah menjadi bersih (suci) serta wajar bersatu dengan Tuhan (Brahman).
Bambu kuning yang merupakan bahan yang berperan penting dalam pembuatan bale gading dalam upacara manusa yadnya khususnya potong gigi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan upakara lain dalam upacara yadnya diantaranya dalam Dewa yadnya (Ngenteg linggih) bambu gading dipergunakan pada pembuatan bale Pagening, penjor Rsigana, sebagai tunjang dalam upacara nyekah dalam ngangget don bingin, tumpang salu dalam upacara ngaben yang mana semua mencari keindahan dalam arti spiritual. Yang mana indah secara kedewataan supaya upacara tersebut bermutu seperti daiwi sampat.
Selain sebagai sarana upakara dalam upacara keagamaan secara umum bambu kuning memiliki berbagai manfaat bagi manusia diantaranya sebagai bahan bangunan, pagar, jembatan, alat angkutan (rakit), pipa saluran air dan berbagai peralatan rumah tangga walaupun bambu ini tidak terlalu baik dan dapat menghasilkan bubur kayu yang baik untuk bahan pembuat kertas. Selain itu, tunas mudanya (rebung) dapat dimakan, rebung bambu kuning umum digunakan sebagai obat liver atau hepatitis. Rumpun bambu mempunyai potensi dalam melestarikan lingkungan; pertumbuhannya cepat dan akarnya mampu menahan erosi dan mengkonservasi air. Di samping itu bambu juga dapat menghasilkan oksigen yang besar bagi kehidupan manusia. Akar bambu kuning juga dapat sebagai bahan perhiasan (kerajinan tangan). Perbanyakan Bambusa vulgaris Schard dapat dilakukan dengan menggunakan rhizoma, stek batang atau cabang, cangkok dan kultur jaringan. Stek rhizoma diambil dari rumpun yang berusia 1-2 tahun memberikan hasil yang lebih baik. Namun yang paling sering digunakan adalah stek batang atau cabang dari batang yang tidak terlalu tua atau muda. Pemanenan dapat dimulai setelah tanaman berumur 3 tahun. Rebung dapat dipanen 1 minggu setelah keluar dari permukaan. Satu rumpun dalam setahun dapat menghasilkan 3-4 batang baru. Hama yang sering menyerang tanaman bambu kuning biasanya berupa hama pengerek batang atau oleh orang Bali sering disebut seseh.
Dari hasil penelitian yang dilakukan saat ini keberadaan dari bambu kuning sudah sangat langka (sulit dicari) untuk keperluan keagamaan, hal ini dikarenakan penanaman bambu kuning jarang dilakukan oleh penduduk baik pada kebun atau pun pekarangan tempat tinggal bila dibandingkan dengan penanaman jenis bambu yang lain biasanya hanya ditanam diareal jaba (depan) Pura namun jumlahnya pun tidak terlalu banyak. Penduduk beranggapan pemakaian bambu kuning ini tidaklah sebanyak bambu jenis lainnya selain itu jenis ini sangat keterbatasan sumber rumpun di alam. Pembudidayaan tanaman bambu kuning lebih ditingkatkan untuk mempermudah mencari bambu kuning untuk sarana upakara khususnya bale gading, namun secara umum pelestarian bambu ini dapat menguntungkan secara ekonomi karena dapat dijual dengan harga tinggi selain untuk kebutuhan orang-orang yang memerlukan pada saat pembuatan bale gading juga untuk kebutuhan industri. Menghindari pemotongan bambu pada hari minggu hal ini menurut kepercayaan masyarakat Hindu hari minggu merupakan sarwa buku yaitu waktu menanam tanaman serba buku (berbuku). Jadi tidak diperkenankan memotong bambu pada hari tersebut. Selain itu saat pemotongan bambu kuning yang akan digunakan dalam upacra yadnya sebaiknya membawa canang sari hal ini dimaksudkan untuk memohon izin kepada Dewa Sambhu sebagai Dewa Tumbuhan. Pembudidayaan tanaman bambu kuning harus semakin ditingkatkan mengingat tanaman ini memiliki nilai spiritual yang tinggi khususnya untuk manyarakat Hindu di Bali.














BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
5.1.1 Bambu kuning (gading) memiliki peranan yang amat penting dalam pembuatan Bale Gading karena warna kuning (gading) dalam mitologi Hindu merupakan lambang Keindahan, kecantikan, kesucian, kewibawaan serta keremajaan. Selain itu bambu kuning (gading) berasal dari kata ”pring” yang artinya api (cahaya) dan gading (kuning) yang bermakna ”amerta” (keindahan), jadi bambu kuning merupakan api keindahan dan tiying gading (bambu kuning) ini merupakan simbol dari Dewa Keindahan dimana seperti yang disebutkan dalam Lontar Semara Dahna yang disebut Dewa Keindahan adalah Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih dimana beliau merupakan sebagai penuntun para remaja, karena disaat remajalah jiwa manusia itu indah. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan dan memperoleh kesucian hati. Oleh karenanya dalam upacara potong gigi diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih (Sang Hyang Semara Ratih), maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan. Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.
5.1.2 Bale Gading merupakan sebuah bangunan yang berwarna kuning yang terbuat dari bambu kuning (bambu gading) yang memiliki empat buah sake (tiang) dengan bentuk persegi empat bujur sangkar dan memiliki atap, menyerupai bangunan biasa dan bale ini dihias serba kuning dengan bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya serba bewarna kuning sehingga berbentuk seperti bangunan emas. Bale gading dalam upacara potong gigi berperan sebagai salah satu kelengkapan upakara yang mana merupakan Stana dari Sang Hyang Semara Ratih dimana Beliau merupakan Dewa Kecantikan dan Kemuliaan yang nantinya diharapkan bagi yang akan potong gigi mengikuti sifat dari Sang Hyang Semara Ratih tersebut. Pada bale gading terdapat beberapa upakara sebagai pelengkapnya antara lain : banten pejati yang terdiri dari peras, daksina dan ajuman; nyuh gading (kelapa gading) yang telah dikasturi; banten suci; canang sari dan ponjen.
5.1.3 Tanaman bambu kuning (Bambusa vulgaris Schard) berasal dari Dunia Lama, khususnya dari kawasan Asia Tropis dan paling banyak dibudidayakan di seluruh kawasan tropis dan subtropis sedangkan untuk kawasan Asia Tenggara, bambu kuning mudah dibudidayakan dan dapat tumbuh dimana saja hingga ketinggian maksimal 1200 mdpl, bambu ini tumbuh baik didaerah dataran rendah dengan berbagai kondisi kelembaban udara dan berbagai tipe tanah, baik didaerah yang basah, subur maupun kering, yang tidak subur, digunung, didataran rendah maupun pinggir pantai. Pembudidayaan tanaman bambu kuning dapat dilakukan dengan menggunakan rhizoma, stek batang atau cabang, cangkok dan kultur jaringan, dan penanaman yang memberikan hasil paling baik adalah dengan rimpangnya (stek rhizoma) yaitu dengan mengambil dari rumpun yang berusia 1-2 tahun. Namun yang paling sering digunakan adalah stek batang atau cabang dari batang yang tidak terlalu tua atau terlalu muda.

5.2 Saran
5.2.1 Karena manfaat dan kegunaan dari bambu kuning sangat besar bagi kebutuhan adat istiadat serta upacara keagamaan khususnya upacara yadnya masyarakat Hindu pada umumnya dan Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung pada khususnya, maka diharapkan agar masyarakat membudidayakan tanaman bambu kuning di pekarangan rumahnya masing – masing untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
5.2.2 Diharapkan agar masyarakat lebih membuka pemikiran tentang pemanfaatan bambu kuning dalam pembuatan Bale Gading pada Upacara Potong Gigi (Mepandes).
5.2.3 Penelitian ini dapat digunakan dalam proses belajar mengajar biologi khususnya dalam kajian etnobotani disamping itu juga dapat digunakan dalam kegiatan mengajar untuk mata pelajaran agama Hindu.